Admin : Topik ini masih dalam ranah diskusi, tulisan ringan berikut dimaksudkan membuka diskusi lanjut dalam permasalahan ini.Penulis dalam hal ini menguatkan pendapat akan wajibnya membaca al-fatihah walaupun dalam sholat jahriyah dibelakang imam
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Sebelumnya saya buka, dengan mengingatkan bahwa para ulama berselisih pendapat salafan wa khalafan, hingga para sahabat telah berselisih dalam hal ini.Oleh karenanya mengenai membaca dibelakang imam,sungguh bijak ucapan seorang ulama “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam).Tentunya hal ini jika permasalahan ini tidak jelas mendudukkan dalil dan ucapan yang ada bagi kita.Adapun jika sudah jelas,maka sebagaimana ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i :Telah ijma’ kaum muslimin bahwasannya jika seseorang telah jelas baginya sunnah Rasulillah shalallah ‘alaihi wasalam tidak ada baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ucapan seseorang diantara manusia.
Fabillah nasta’in
Ulama berbeda pendapat kedalam tiga pemahaman dalam masalah ini (lihat file yang dikirim Abu Ishaq yang berjudul : “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)“.Saya berikan tambahan seperlunya.
1. Wajib diam mendengarkan bacaan Imam jika bacaannya dikeraskan.Apabila tidak terdengar bacaab Imam,misalkan karena jauh maka wajib membaca.Pendapat inilah yang dirajihkan dalam artikel tersebut, yang berarti inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Berbaris dalam barisan ini diantaranya Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Imam Malik bin Anas,dan lainnnya.
2. Wajib membaca al-fatihah secara mutlak baik dalam shalat jahriyah atausirriyah, juga baik mendengar suara imam maupun tidak.Berbaris dalam pendapat ini diantaranya:Umar bin Khattab,Ubadah bin Shamit,Abdullah bin Amr bin ‘Ash,Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an,Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya,Ishaq bin Rahawaih,Imam Al-Bukhari,Imam Asy-Syaukani,dan lain-lain.Pendapat inilah yang sedang dibantah dalam artikel “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
3.Tidak wajib membaca,baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib,Zaid bin Haritsah,Jabir bin Abdillah,Sa’ad bin Abi Waqqash,Abdullah bin Mas’ud,Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Pendapat pertama, seolah dipilih sebagai jalan tengah dari dua kutub berlawanan dari pendapat kedua dan ketiga yang saling berseberangan.
Jawaban Atas Artikel kiriman Saudara Abu Ishaq yang berjudul “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
Karena berupa artikel,maka saya jawab yang sebagian besarnya saya ambil dari artikel ringan juga yang berjudul Al-Adillah ‘Ala Rukniyah Qiro’ah Al-Fatihah Lil- ma’mum wa roddu ‘alal Mukhaliftulisan dari Abu Abdirrahman Muhammad bin Imran.Point-point berikut hanya jawaban dari pokok argumen artikel tersebut, disamping sekaligus ada tambahan untuk argument yang tidak disebutkan dalam artikel tesebut.
Berdalil dengan surat Al-A’rof 204 :Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun”(Dan apabila dibacakan al-Qur’an,maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat).
Al-Jawab :
Sisi pertama, ketahuilah bahwa hadist-hadist yang sharih bahwa al-fatihah itu wajib adalah umum.
1. Dalam riwayat muslim,tirmidzi,An-Nasai,Abu Daud, Ibnu Majah,Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata (dalam lafadz riwayat Imam Ahmad):
(( أَيُّمَا صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ))
(Shalat apa saja yang tidak dibaca didalamnya surat Al-Fatihah maka shalatnya rusak kemudian rusak dan rusak.)
(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya,artinya “An-Nuqshon wal fasad”)
(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya,artinya “An-Nuqshon wal fasad”)
Perhatikan yang saya garis bawahi (ayyuma sholatin).Huruf (Ayyu) menurut ulama ushul disebutkan sebagai minal huruf allati tadullu ‘alal umum (huruf yang menujukkan makna umum).Ditambah lagi bahwa kata “sholatin” yang berbentuknakiroh yang bermakna umum juga.Nabi tidak membedakan shalat imam atau shalat makmum, juga tidak membedakah shalat jahriyah ataupun sirriyah.Kaidah ushul mengatakan :
أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
(Asal dalam bentuk umum adalah tetap pada keumumannya sampai datang dalil yang menunjukkan kekhususannya)
Seandainya memang disana ada pengecualian, maka tentunya Nabi akan mengatakan :“Kecuali bagi makmum” atau “Kecuali bagi yang shalat dibelakang imam” atau yang semakna dengan ini
2.Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:
(( لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
(Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah)
Kembali perhatikan yang saya garis bawahi (laa shalata). Kata shalat bentuknya nakiroh.Adalah kaidah mengatakan :
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum)
Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah,sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam.Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).
Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud),apabila tidak mungkin dengan makna ini,maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah).Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal).Inilah urutan dari an-nafyu.
Contoh :
-Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
-Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
-Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
-Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
-Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
-Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”?Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Olehkarenanya penafian disini bukanlah penafian wujud.Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah).Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.
Kaidah mengatakan :
الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
(Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyah yang shahih)
Pertanyaan , adakah disebutkan disana sesuatu yang mengkhususkan?
Sisi kedua,jawaban atas pendalilan dengan ayat “Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun“
Berkata Imam Ahmad,bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dalam sholat.Maka ayat ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi makmum untuk diam dan sibuk untuk mendengarkan bacaan alquran dari imam.
Al-Jawab:
Pertama,
Bahwa ayat yang kita bahas ini adalah umum (‘aam), adapun hadist-hadist tentang kewajiban membaca AL-Fatihah yang sudah saya sampaikan sebelumnya adalah kekhususan. Kaidah mengatakan :
إذا تعارض النص الصريح في المسألة مع غيره مما هو أعم فإنه يقدم الصحيح الصريح
(Apabila bertentangan nash yang shorih (gamblang) dalam suatu masalah dengan nash yang lainnya yang lebih umum,maka dikedepankan nash yang shahih dan gamblang tadi)
Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Mana yang lebih umum antara ayat Al-A’rof dengan hadist diatas ini? Al-Jawab : Ayat Al-A’rof lebih umum, walaupun keduanya bisa dikatakan umum (dalam artian bahwa hadist ini bisa dikhususkan untuk shalat sirriyah).Tetapi hadist ini sebagaimana yang beberapa kali saya dengar diungkapkan Al-Imam Ibnu Utsaimin adalah nash yang shorih tentang kewajiban Al-Fatihah.Dengan kaidah ini maka selayaknya yang didahulukan adalah hadist ini bukan ayat Al-A’rof.
Kedua,
Hadist Ubadah :,Laa shalata li man lam yaqro’ bifatihatil kitab seolah bertentangan dengan ayat Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun
Ungkapan Laa shalata menunjukkan syarat sah shalat,sehingga kewajiban membacanya adalah lebih kuat dari ayat Al-A’rof ini.Karena ayat Al-A’rof menunjukkan kewajiban mendengar,dan kewajiban mendengar tidaklah bertentangan dengan kewajiban sebagai rukun.Dasar pijakannya adalah sebagai berikut:
Ungkapan Laa shalata menunjukkan syarat sah shalat,sehingga kewajiban membacanya adalah lebih kuat dari ayat Al-A’rof ini.Karena ayat Al-A’rof menunjukkan kewajiban mendengar,dan kewajiban mendengar tidaklah bertentangan dengan kewajiban sebagai rukun.Dasar pijakannya adalah sebagai berikut:
Kaidah mengatakan :
إذا تعارضت الأركان والواجبات قدمت الأركان على الواجبات
(Apabila bertentangan antara rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban maka dikedepankan rukun atas kewajiban)
Membaca Al-Fatihah adalah kewajiban sebagai rukun dari sholat.Adapun wajib diam mendengar Al-Quran adalah kewajiban namun bukan rukun.Maka seharusnya didahulukan kewajiban sebagai rukun
Mungkin ada yang akan mengatakan, bahwa Al-Fatihah itu sebagai rukun adalah sebatas ijtihad ulama.Jadi kedudukannya sama ,antara dua kewajiban yang bertentangan.Satu kewajiban membaca dan yang lain kewajiban mendengar.Sehingga tidak bisa diterapkan kaidah diatas ini.Maka kami jawab sebagai berikut :
Ketahuilan bahwa ada dua jenis wajib : Wajib muttashil (Berkaitan langsung) dan wajib munfashil (terpisah).Hadist Al-Fatihah jelas berkaitan erat (muttashil) dengan shalat.Sedangkan ayat Al-A’rof kewajibannya terpisah (munfashil)
Kaidah mengatakan:
Kaidah mengatakan:
إذا تعارض الواجب المتصل بعبادة المكلف مع الواجب المنفصل ؛ فإنه يُقدم المتصل الذي أمر به إلزاماً على من فصل عنه
Apabila bertentangan antara wajib muttashil (berkaitan dengan ibadah tertentu) dengan kewajiban yang munfashil (terpisah tidak berkaitan langsung) maka didahulukan yang muttashil tadi dari yang munfashil.
Ketiga,
Adalah mungkin membaca Al-Fatihah dalam keadaan Imam berhenti sebentar sebelum membaca surat.Walaupun tidak ada dalil yang kuat Imam mesti berhenti sebentar, akan tetapi jika kebetulan kita bermakmum pada imam yang seperti ini ,maka kita lebih lagi wajib membacanya
Dalam kitab Al-Inshaf fi ma’rifati Ar-rajih Minal Khilaf disebutkan demikian :”Dianjurkan membaca Al-Fatihah disaat imam berhenti membaca.Inilah pendapat yang dipilih dalam manhaj dan juga merupakan pendapat jumhur ulama.Bahkan ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah tatkala imam berhenti membaca”
Adalah mungkin membaca Al-Fatihah dalam keadaan Imam berhenti sebentar sebelum membaca surat.Walaupun tidak ada dalil yang kuat Imam mesti berhenti sebentar, akan tetapi jika kebetulan kita bermakmum pada imam yang seperti ini ,maka kita lebih lagi wajib membacanya
Dalam kitab Al-Inshaf fi ma’rifati Ar-rajih Minal Khilaf disebutkan demikian :”Dianjurkan membaca Al-Fatihah disaat imam berhenti membaca.Inilah pendapat yang dipilih dalam manhaj dan juga merupakan pendapat jumhur ulama.Bahkan ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah tatkala imam berhenti membaca”
Berdalil dengan hadist:”Imam dijadikan sebagai anutan makmum.Jika ia bertakbir,bertakbirlah kalian dan jika ia membaca,diamlah kalian”(lihat shifat sholat Nabi oleh Imam Albani rahimahullah
Jawab : “Dan apabila imam membaca,maka diamlah” .Na’am (iya) kami sepakat diam,KECUALI surat Al-Fatihah.Disamping itu sanad hadist ini walaupun berterima akan tetapi lebih lemah dari tingkatan hadist-hadist yang menetapkan dengan jelas wajibnya membaca Al-Fatihah.Ulama Ushul mengatakan agar didahulukanAl-Ashohhu ‘ala As-Shohih (Yang lebih shahih atas yang shahih),didahulukan Al-aqwa ‘ala maa huwa qowiy (yang lebih kuat atas yang kuat),didahulukan Al-qowiy ‘ala Adh-dho’if (yang kuat atas yang lebih lemah), didahulukan Ash-Shahih ‘ala al-hasan (yang shahih atas yang hasan).
Berdalil dengan hadist:”Barangsiapa shalat dibelakang imam maka bacaan imam adalah bacaannya (man kaana lahu imam fa qiro-atuhu lahu qiro-ah)
Jawab : Sebagian ulama mengatakan bahwa hadist ini tidak shahih.Sekalipun shahih, maka membaca Al-Fatihah adalah kekhususan yang diperintahkan membacanya.
Berdalil dengan adanya naskh
Al-Jawab : Al-Imam Albani rahimahullah dalam kitab nya yang sangat “hebat”, yakni “Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam minat takbir ilat taslim ka-annaka taroha” menulis sub bab pada hal 327-364 (Maktabah Al-Ma’arif cetakan tahun 2006) “Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah” (Dihapuskannya hukum membaca dibelakang imam dalam sholat yang dikeraskan bacaannya)
Beliau mengatakan,pada awalnya makmum dibolehkan membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam dalam sholat jahr,sebagaimana pernah terjadi pada waktu sholat shubuh.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shlat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:”Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Di naskh oleh apa? Al-Imam Albani membawakan dalil kedua sebagai penghapus hukum hadist pertama diatas :
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]“
Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairoh, akan tetapi dari Az-Zuhri.Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339).Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.
Taruhlan ini hadist yang berterima dan lafadz “intahan naas…”(manusia kemudian berhenti dari membaca dibelakang imam) adalah ucapan Abu Hurairoh,maka alhamdulillah saya temukan Al-Imam Ibnu Utsaimin menjawab pendapat naskh ini,bahwa hal tersebut tidak tepat karena diantara syarat naskh (penghapusan hukum) adalah tidak mungkinnya dilakukan jama’.Padahal sangat mungkin dilakukan jama diantara keseluruhan dalil, yakni bahwa al-fatihah adalah kekhususan dari lafazd-lafadz dalil yang umum.Silahkan mendengarkan kajian beliau ketika membahas Nailul Author Bab Sholat, ,terutama pada nomor kaset 3 side B dan No.2 side B.Juga jangan tinggalkan nomor kaset 1A,1B,2A,4A.Silahkan bisa diunduh kajian beliau di
Saya bawakan dari Al-Ushul min ‘ilmil ushul karya Imam Ibnu Utsaimin tentang syarat naskh ini sebagai berikut:
1.Tidak mungkinnya menjama’ antara dua dalil,jika memungkinkan jama’ maka tidak ada naskh
2.Mengetahui bahwa nasikh (dalil yang menghapus hukum) datangnya paling akhir (dari dalil yang mansukh),baik dengan nash atau khabar dari sahabat atau tarikh
3.Keberadaan nasikh (dalil yang menghapus hukum) disyaratkan oleh jumhur harus lebih kuat dari dalil yang dimansukh atau minimal satu level.Maka dalil yang mutawatir tidak boleh dihapus hukumnya oleh dalil yang ahad.Tetapi yang rajih adalah tidak disyaratkan point ketiga ini.
2.Mengetahui bahwa nasikh (dalil yang menghapus hukum) datangnya paling akhir (dari dalil yang mansukh),baik dengan nash atau khabar dari sahabat atau tarikh
3.Keberadaan nasikh (dalil yang menghapus hukum) disyaratkan oleh jumhur harus lebih kuat dari dalil yang dimansukh atau minimal satu level.Maka dalil yang mutawatir tidak boleh dihapus hukumnya oleh dalil yang ahad.Tetapi yang rajih adalah tidak disyaratkan point ketiga ini.
Ketiga atau minimalnya kedua syarat diatas tidak dipenuhi, dalam berpendapat“Naskh”.Allahu a’lam. Dan juga Imam Albani pun jujur dalam footnote bahwa beliau tidak punya dalil (nash) mana yang datang duluan dan terakhir dari dua dalil diatas yang dikatakan beliau yang satu nasikh dan yang lainnya mansukh.Yang beliau pakai adalah logika bahwa tidak mungkin larangan (an-nahyu) datang lebih awal.InsyaAllah kaidah Imam Ibnu Utsaimin menurut saya lebih tepat yakni tidak bisa diterapkan hukum naskh ini
Sehingga, karena tidak ada dalil untuk mengetahui mana yang datangnya lebih awal atau belakangan dari dua dalil yang nampaknya bisa terjadi nasikh mansukh ini.Kaidah mengatakan :
النسخ لا يثبت بالاحتمال
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan
Ada yang mengatakan begini :”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairoh“fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”
Lantas, apakah benar tidak mungkin menjama’? Abu Hurairoh memandang tidak demikian ketika ditanya bagaimana tentang makmum yang membaca dibelakang imam sedangkan ada dalil yang mengharuskan diam, Abu Hurairoh menjawab :“Iqro biha yaa farisi fi nafsika”
Berdalil dengan cara berpikir “Apa faidah Imam membaca kalau begitu, jika makmum sibuk membaca Al-Fatihah? atau “Apa gunanya Imam membaca keras?”
Jawaban :Kami katakan in adalah qiyas atau logika yang berhadapan dengan nash,sedangkan
القياس في مقابلة النصِّ مُطَّرَح
Qiyas yang menyelisihi nash harus diabaikan (dibuang)
Berdalil dengan shahihnya tambahan kalimat “fasho’idan” dalam hadist “La sholata liman lam yaqro [fiha] bifatihatil kitab [fasho'idan] (lihat Sifat Sholat Nabi oleh Imam Albani),
“Fasho’idan” itu kurang lebih artinya “selebihnya atau tambahan” (tergantung kalimatnya).Sehingga artinya :”Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca didalamnya Al-Fatihah dan tambahan selebihnya (maksudnya surat)” Dalam artikel “mukhtashor kalam ibn taimiyah” ini dikatakan bahwa hal ini menunjukkan hadist ini berlaku bagi Imam bukan makmum karena tidak ada yang mengatakan bahwa meninggalkan mendengar secara keseluruhan baik al-fatihah dan surat itu baik serta tidak ada samasekali perintah bagi makmum membaca selain al-fatihah dibelakang imam.
Jawab: Iya, kami sepakat tambahan ini shahih.Dan baiklah taruhlah kami terima pendapat bahwa hadits ini beserta tambahannya khusus bagi Imam.Olehkarenanya anda harus dikatakan “Bagi Imam itu wajib membaca Al-Fatihah dan Surat“
Akan tetapi bukankah tambahan surat setelah al-fatihah itu sunnah bukan wajib.Bahkan ketahuilan adalah ijma’ bahwa membaca surat itu tidak wajib. Kalau anda mengatakan bilang wajib,cobalah beri keterangannya!”
Baiklah kita bawakan saja ucapan ulama.Berkata Al-Mundziri :Kemudian ucapan“fasho’idan” dzahirnya menunjukkan wajib membaca tambahan (surat) setelah Al-Fatihah dengan makna akan batal sholat tanpa membaca surat.(Padahal) telah sepakat atau umumnya mereka (ulama) atas tidak wajibnya membaca surat ini.Dan sepertinya mereka membawanya kepada makna “dan tambahan surat” adalah ahsan.Allahu a’lam”
Ada juga yang memaknai maksud “tambahan setelah Al-Fatihah” disini adalah rukun-rukan selain al-fatihah seperti ruku,sujud dan lainnya.
Allahu A’lam
Juga mohon koreksinya.
Juga mohon koreksinya.
Abu Umair As-Sundawy
Ahmad berkata
Ini berarti jika seseorang masbuk dan mendapati imam sudah membaca surat dan sudah selesai, dan ia (imam) hampir ruku, dan kita mengikutinya, itu TIDAK dihitung satu rakaat?
Ahmad
author berkata
Abu Umair As-Sundawy berkata
Abu Aufa berkata
Akh, ana menemukan hadits yang semakna atau bisa dibilang sama matannya dengan hadits diatas akan tetapi bukan riwayat Imam Bukhari tapi riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi berikut haditsnya :
1. Muhammad bin Ishaq bin Yasar, seorang yang benar ( Taqribut Tahdzib 2/144)
2. Mak-hul Asy Syaamy (orang Syam), seorang rawi yang Tsiqah (Mizaanul I’tidal 4/177,178)
Abu Umair As-Sundawy berkata
Abu Umair As-Sundawy
Abu Umair As-Sundawy berkata
Abu Umair As-Sundawy
Abu Aufa berkata
Abu Umair As-Sundawy berkata
Heri Setiawan berkata
Habib Amaluddin berkata
Ana juga masih bertanya-tanya apa faidah dari imam membaca dijahrkan kalau ma’mum membaca Al Fatihah sendiri-sendiri. Bukankah cukup mengaminkan bacaan Al Fatihah imam.
ibnu Muhtadi berkata
makmum diperbolehkan memisahkan diri dari imam yang tidak membaca makhraj huruf atau tajwid tersebut (yakni bacaannya merubah makna dari bacaan al Fatihah). dalilnya adalah tentang sahabat kecil yang memisahkan diri dari mu’adz bin Jabbal radlillahu’anhuma saat membaca shalat dengan bacaan yang terlalu panjang. maka tidak disempurnakannya rukun (karena membaca al fatihah adalah rukun dalam shalat) adalah lebih boleh lagi bgi si makmum untuk memisahkan diri dari si imam.
Elvin Ikhsan berkata
1. Wajib diam (Ibnu Taimiyah, Abu Darda, Imam Malik, dan lainnya)
2. Wajib membaca (Umar bin Khattab, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah, Imam Syafi’i dan lainnya.)
3. Tidak wajib membaca baik jahriyah maupun sirriyah (Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash).
Pertanyaan saya:
1. Siapakah dirinya yang mengaku lebih alim dari shahabat Nabi sehingga berani mengatakan tidak sah shalat mereka (para shahabat) apabila mereka diam ketika imam membaca Al-fatihah)??
2. Apakah selama itu Nabi tidak mengetahui bahwa beberapa shahabat Nabi (pendapat ketiga) shalat dibelakang beliau tidak membaca Al-fatihah? Dan apabila Nabi mengetahui mengapa Nabi tidak memarahi mereka karena telah melanggar “”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah”.?? Bukankah ini berarti ada kekhusuan dalam hal ini yaitu dalam shalat Jama’ah terutama Jahar tidaklah diwajibkan??
3. Telah mafhum bahwasanya beberapa shahabat telah dijamin dengan sorga. Diantara mereka yang dijamin tentulah ada yang berpendapat diam dibelakang imam, lalu bagaimana mereka bisa dijamin sorga apabila selama ini shalat jamaah mereka tidak sah (menurut pendapat kedua)?? Dan para shahabat hampir selalu shalat wajib berjamaah sepanjang hidup mereka sebagai muslim.
4. Permasalahan sholat ini adalah permasalah yang sangat penting akan tetapi mengapa Umar bin Khattab (pendapat kedua) hanya mendiamkan saja Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud yang mengambil pendapat ketiga (menurut tulisan penulis) padahal mengandung resiko tidak sahnya shalat mereka dan orang-orang yang mengikuti mereka?? Apakah Umar bin Khattab yang tidak mengerti nash-nash ataukah Ali bin Abi Thalib yang tidak paham??
5. Tidak cukupkah bagi kita “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam)?
Elvin Ikhsan
herbono utomo berkata
Abu Umair As-Sundawy berkata
Kalaulah demikian,maka amatlah mudah bagi kita untuk mendakwa bahwa antum juga “menuduh” segenap ulama yang berbaris rapi akan pendapat wajibnya membaca dibelakakang imam bahwa mereka menuduh para sahabat tidak sah shalatnya.
1. Konsultasi Ustadz: Dalil Makmum Membaca Al Fatihah Setelah Imam:
http://muslim.or.id/2007/05/04/konsultasi-ustadz-dalil-makmum-membaca-al-fatihah-setelah-imam/
Abu Umair As-Sundawy
Elvin Ikhsan berkata
Wassalamu’alaikum warohmatulllohi wabarokatuh
Abu Faris an-Nuri berkata
Saya sendiri belum mencoba melakukan ‘tarjih’ dalam masalah ini. Namun, pernah saya sampaikan dalam salah satu momen bahwa membaca al-Fatihah merupakan perkara yang ‘ahwath’ (paling hati2/selamat; jangan dibaca akhwat loh ^_^), jika Anda membaca al-Fatihah, maka shalat Anda tetap sah menurut dua pendapat yg berseberangan tersebut. Namun jika Anda tidak membaca al-Fatihah maka shalat Anda tidak sah menurut konsekuensi salah satu pendapat. Bukankah demikian? ^_^ Ini jika Anda bingung dalam memilih satu dari dua pendapat yang ada. Namun, jika Anda merasa tenteram terhadap salah satu pendapat dan meyakini kebenarannya, maka itulah yang Anda amalkan.
Abu Al-Jauzaa' berkata
abah zacky berkata
Abu Umair As-Sundawy berkata
Abu Shalih berkata
======
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]”
Abu Shalih :
Lafadz :
“fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam”
Bahkan imam An Nawawi berkata : “ini adalah persoalan yang tidak diperselisihkan dikalangan mereka”
pernyataan para imam ini semakin kuat untuk membatalkan dakwaan naskh pada keumuman perintah membaca Alfatihah.
======
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan
=========
dakwaan kebalikan ini (naskh terhadap dalil2 yang mengandung larangan) pun juga rasanya tidak memiliki landasan dalil yang kuat, so jalan yang terbaik adalah dikembalikan kepada kaidah jama’ dan tarjih.
Abu Shalih