Friday, August 16, 2013

Assalamu’alaikum atau Assalamu’alaika..?

Penyusun : Abu Shalih Hartoyo
Assalamu’alaikum Warahmatullah…
Alhamdulillah millis ini semakin semarak, dan sangat terasa akan faidah-faidah yang bisa dipetik. Semoga millis ini dapat terus memberikan manfaat, khususnya ana pribadi, meningkatkan keistiqomahan, ukhuwah…ilmu, amal…dan dakwah..betapa dunia maya adalah dunia yang penuh ranjau mematikan jika kita tak hati-hati dalam melangkah dan berselancar…(bisa kemelep .. :p)
Dalam kesempatan ini, ana ingin berbagi faidah dari sedikit yang ana tahu tentang salam kepada orang tunggal. Apakah yang diucapkan “assalamu’alaika’dhomir tunggal (ka) atau “Assalamu’alaikum”..(dhomir jama’) ?
yang nampak dari riwayat-riwayat yang datang baik dari Nabi ‘alaihisholatu wasallam maupun atsar para sahabat, adalah mereka tetap menggunakan dhomir tunggal “Ka” , Assalamu’alaika, dan bukan Assalamu’alaikum
Berikut beberapa riwayat-riwayatnya:
(1)
Jabir bin Muslim berkata :
Saya melihat seseorang yang manusia selalu bersandar kepada pendapatnya, tidaklah ia mengatakan sesuatu kecuali mereka akan bersandar kepadanya. Saya berkata: siapa ini ? maka mereka berkata: ini adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam , maka saya berkata :
“Alaikassalam wahai rasulullah…”sebanyak 2 kali.
Maka beliau berkata :
Janganlah engkau berkata ‘alaikassalam, tetapi katakanlah Assalamu’alaika
sesungguhnya ‘Alaikassalam adalah penghormatan kepada mayit. Ia berkata : Saya berkata : engkau rasullah sallallahu ‘alaihi wasallam ? beliau berkata : saya adalah Rasulullah yang jika mengenai padamu suatu keburukan, kemudian aku berdoa niscaya Ia akan menyembuhkannya darimu, dan apabila menimpa kepadamu kemarau setahun, niscaya Ia akan menumbuhkannya (bumi) untukmu…
Riwayat Abu Dawud, 4084. Syeikh AL Albani berkata : Shahih…

(2)
Salam para sahabat kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam sholatnya ketika beliau masih hidup :
Mengabarkan kepada kami Syaqiq bin ‘Abdillah ia berkata:
Dulu, bila kami shalat bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, kami berkata
Assalamu’alallah sebelum para hamba-Nya. : Assalamu ‘ala jibril, Assalamu ‘ala mika’il, Assalamu ala fulan…, Assalamu ‘ala fulan…”
Ketika Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berbalik wajah kearah kami, beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allahlah Assalam (maha pemberi kesalamatan), bila kalian duduk dalam shalat, maka katakanlah :
Attahiyatu lillah, wa sholatu wathoyyibatu, Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullah…
(Shahih Al Bukhari, 5876),
(3)
Salam para malaikat kepada Adam, ‘Alaihissalam
Allah menciptakan Adam, dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian Allah berkata : “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu” kemudian Adam berkata : Assalamu’alaikum, maka para malaikat menjawab : “assalamu’alaika warahmatullah”
Shahih Bukhari, 5873 dalam riwayat lain, Nabi berkata : maka para mala’ikat pun menambah salamnya dengan warahmatullah…(Shahih Muslim, 2841)
Para malaikat tetap menggunakan dhomir (kata ganti) ka ketika menjawab salam Adam dan tidak kum.
(4)
Atsar dari sahabat:
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliallahu’anhuma apabila bertahiyat (mengucapkan penghormatan) kepada Anak ja’far (bin abdul muthollib), Ia berkata ;Assalamu’alaika wahai anak pemilik dua sayap…
(Shahih Al Bukhari 4016), Ibnu ‘Umar radliallahu’anhuma adalah orang yang mendekap tubuh Ja’far ibn ‘Abdil Muthollub ketika kedua tangannya putus pada peperangan mu’tah karena mempertahankan bendera perang..
(5)
Demikian pula ketika Ibnu Umar radliallahu’anhuma memberikan salam kepada Abdullah bin Zubair radliallahu’anhuma : Assalamu’alaika ya Aba khubaib.. Assalamu’alaika ya Aba Khubaib…(Shahih Muslim, 229)
(6)
Salam Abu dzar Radliallahu’anhu ketika pertama bertemu dengan nabi sallallahu ‘alaihi wasallam :
Saya adalah orang yang pertama kali melakukan tahiyyah (penghormatan) kepada Nabi dengan tahiyyah islam. Ia berkata : saya berkata “Assalamu’alaika ya Rasulullah..”
Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “wa’alaika warahmatullah…”
Beliau berkata : “siapa engkau..?” Abu dzar menjawab :” saya dari Ghifar…”
(Shahih Muslim, 132)
Dalam riwayat muslim yang lain, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya (salam Abu Dzar) dengan : “ Wa’alaikassalam..”
Berkata Al Imam Nawawi rahimahullah rahmatan wasi’ah dalam kitabnya yang indah, Riyadhusholihin…
Disukai/disunnahkan bagi orang yang memulai salam : Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh, dengan menggunakan dhomir (kata ganti) jama’ (kum) meski yang diberi salam hanya satu… kemudian beliau membawakan Hadits ‘Imron bin Hushoin
(Riyadhusholihin Bab Kayfiatussalam..)
Menanggapi hal ini, Syeikh Muhammad bin Shölih Al ‘Utsaimin berkata dalam Syarh Riyadhussholihin…
Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
Asshohih..(Yang benar) adalah : Assalamu’alaika (dhomir tunggal-pen). Demikianlah yang tsabit dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits Al musii’u fisholah (yang sholatnya salah), ia berkata : Assalamu’alaika..
Adapun istidlal muallif (Al Imam An Nawwi) dari hadits ‘Imron tidak ada dilalah (penunjukkan) didalamnya, hal ini dikarenakan laki-laki yang datang kepada Nabi adalah, bersama nabi terdapat jama’ah yang lain maka ia pun salam kepada seluruhnya, maka bila kepada orang banyak dengan menggunakanAssalamu’alaikum sedangkan kepada satu orang dengan Assalamu’alaika. Bila kamu menambahnya dengan warahmatullah maka itu adalah lebih baik…(syarhu riyadhussholihin bab kayfiatussalam)
Tambahan Faidah dalam Menjawab Salam
Syeikh Al ‘Utsaimin kembali berkata:
Berkata imam An Nawawi: Disukai dengan menggunakan “Wa” (wa’alaikum salamatau lebih lengkap-pen)…(ketika menjawab salam) dengan tambahan wawu (tidak sekedar ‘alaikum atau ‘alaika).
Syeikh Utsaimin berkata: Ini adalah baik, karena apabila dengan tambahan wawu maka akan menjadi jelas bahwa ia bersambung dengan kalimat yang digunakan oleh orang yang memberi salam pertama kali. Tetapi apabila tidak menggunakannya (wawu) maka tidak mengapa. Karena Ibrahim –‘alaihissalam-tidak menggunakan wawu ketika menjawab salam para malaikat

(فقالوا سلاما قال سلام)

(Adzdzariyat : 25)
Para malaikat berkata : saläma, ibrahim menjawab : saläm…
Taqdir dari salam malaikat adalah : sallamna salaaman
Sedangkan Nabi ibrahim : ‘Alaikum salam… dengan tanpa wawu.
Salam nabi ibrahim ini lebih baik dari salam para malaikat, salam para malaikat menggunakan bentuk kalimat fi’liyah (kerja) sedangkan jawaban salam dari ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah yang menunjukkan ketetapan (tsubut) dan dawam (Al Itqon, lishuyuti dan Al Burhan fi ‘ulumil Quran lil imam Azzarkasyi), dan ini selaras dengan adab menjawab salam : lebih baik atau sama…(faidza huyiyytum bitahiyyatin farudduha biahsana minha aw rudduha….)
Beberapa kesimpulan dan faidah yang bisa dipetik :
Sunnah nabi, malaikat, dan para shohabat ketika salam adalah mereka tetap menggunakan dhomir (kata ganti) bersesuaian dengan yang diberi salam, kepada orang tunggal laki-laki dengan Assalamu’alaika, wanita dengan assalamu’alaiki dan seterusnya..
Boleh menjawab salam dengan wawu atau tanpa wawu, namun yang lebih baik adalah dengan wawu, sebagai penegasan sambung terhadap kalimat kalimat pemberi salam yang awal..
Kita dilarang untuk memulai mengucapkan salam kepada orang yang masih hidup dengan ‘Alaikassalam, namun boleh menggunakannya sebagai jawaban-karena dia adalah athof /sambungan.
Wallahusubhanahu A’lam…
Maraji’ (maktaba shameela, syarh riyadhusholihin Syeikh Al’utsaimin)

  1. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Bagaimana dengan riwayat ini yang menunjukkan pengucapan dengan dlamir “kum” untuk orang yang tunggal :
    Dari Kildah bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
    …..فدخلت ولم أسلم فقال ارجع فقل السلام عليكم…….
    “Aku masuk ke rumah beliau namun tidak mengucapkan salam, maka beliau bersabda : “Kembalilah, dan ucapkanlah : Assalamu’alaikum” (HR. Abu Dawud no. 5176)
    عن عمران بن حصين قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال السلام عليكم فرد عليه السلام ثم جلس فقال النبي صلى الله عليه وسلم عشر ثم جاء آخر فقال السلام عليكم ورحمة الله فرد عليه فجلس فقال عشرون ثم جاء آخر فقال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فرد عليه فجلس فقال ثلاثون
    Dari Imran bin Hushain radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seseorang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum, maka Rasul menjawabnya, dan beliau bersabda : Sepuluh. Kemudian datang lagi orang lain dan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah. Maka Rasulullah menjawabnya dan orang itu duduk. Maka Rasulullah bersabda : Dua Puluh. Kemudian datang lagi orang ketiga seraya mengucapkan : Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Maka beliau menjawab, lalu orang tadi duduk. Rasulullah bersabda : Tiga Puluh”. (HR. Abu Dawud no. 5195; dihasankan oleh Tirmidzi).
    dan yang lainnya…..
  2. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Sebenarnya apa yang disampaikan Al-Akh Abu AlJauzaa sudah terjawab oleh pendapat Syaikh Utsaimin rahimahullah yang disampaikan Al-Akh Abu Shalih dalam tulisannya.Yakni mengenai hadist Imran bin Husain yang dijadikan dalil oleh Al-Imam An-Nawawy rahimahullah yang berkesimpulan:
    اعلم أن الأفضل أن يقول المُسَلِّم : السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، فيأتي بضمير الجمع وإن كان المسلَّم عليه واحداً ، ويقولُ المجيب : وَعَلَيْكُمُ السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَركاتُه
    (Imam Nawawi : Ketahuilah bawa yang afdhol adalah mengucapkan Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh, dengan dhomir jamak meskipun orang muslimnya satu orang…………)
    Inipun sudah dijawab oleh Syaikh Utsaimin.
    Adapun tentang memberikan salam ketika memasuki dirumah pun, perlu diteliti juga, apakah memang beliau sendiri atau ada keluarganya juga :p
    Sekedar tambahan saja:Jangankan yang jelas ada penghuninya, rumah/kamar kita yang jelas kosong ketika kita memasukinya tetap mengucapkan salam.Berdasar dalil “Fa idzaa dakholtum buyutan fasallimu ‘ala anfusikum tahiyyatan min ‘indillah mubarokatan thoyyibatan” (silahkan lihat Al-Adzkar).
    Dikatakan beberapa mufassir, bahwa arti “fasallimuu ‘ala anfusikum” maknanya seperti ungkapan “walaaa taqtuluu anfusakum” (jangan kau bunuh dirimu (-juga orang lain-).Olehkarenanya “‘ala anfusikum” dimaknai (untuk dirimu-juga yang lain-).Syuf tafsir Imam Qurthubi
    Wassalam,
    Abu Umair As-Sundawy
    (Saya juga belum banyak tahu, tentang masalah dhomir ini, sehingga belum bisa memberikan komentar :p)
  3. Abu Shalih berkata

    Pernah juga membaca penjelasan dalam kitab Taudhihul Ahkam, bab apa ya, lupa
    Bahwa ketika kita masuk ke dalam rumah, maka di antara kayfiyah salam yang dapat digunakan adalah :
    Assalamu ‘Alayya Wa ‘ala ibadillahisholihiin….
    untuk mutakallim dan juga bangsa Jin yang mereka juga menghuni dalam rumah…
    Wallahu A’lam…
  4. Abu Shalih berkata

    Oya maksudnya adalah bila diyakini ketika masuk tidak ada orang yang ada di dalam rumah, maka salam tetap disyariatkan. tahiyatan lakum…
  5. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Tambahan komentar Abu Shalih,
    Antum bisa temukan dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan disana tentang riwayat “Assalamu ‘Alayya Wa ‘ala ibadillahisholihiin”
    Disebutkan oleh beliau rahimahullah :
    وقال مجاهد : إذا دخلت المسجد فقل : السلام على رسول الله ، وإذا دخلت على أهلك فسلم عليهم ، وإذا دخلت بيتا ليس فيه أحد فقل : السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
    (Berkata Mujahid: Apabila engkau memasuki masjid maka ucaplah “Assalamu ‘ala rasulillah”.Apabila engkau memasuki keluargamu, maka ucaplah salam.Dan apabila engkau masuki rumah yang didalamnya tidak ada orang, ucaplah “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis sholihin”)
    Ada juga Imam Bukhori dalam al-adabul mufrad no.1055,dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma :
    إذا دخل البيت غير المسكون فليقل : السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
    (Apabila engkau masuk rumah yang tidak ada penghuninya, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis sholihin”).Riwayat ini di hasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahil Al-Adab Al-Mufrad No.806
    Abu Umair As-Sundawy
  6. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Akh, Abu ‘Umair,……… ada riwayat berikut :
    عن عمر قال كنت رديف أبي بكر فيمر على القوم فيقول السلام عليكم فيقولون السلام عليكم ورحمة الله ويقول السلام عليكم ورحمة الله فيقولون السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فقال أبو بكر فضلنا الناس اليوم بزيادة كثيرة
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits no. 987; shahihul-isnad sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adaabul-Mufrad].
    Perhatikan, kaum tersebut menjawab salam Abu Bakr (tunggal) dengan Assalamu’alaikum ….. dst.
    Juga riwayat berikut :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Juga :
    عن رجل من الصحابة : (إذا لقي الرجل أخاه المسلم فليقل :السلام عليكم و رحمة الله)
    [Shahihul-Jami' nomor 790]
    Dan yang lainnya………….
    Ana lebih cenderung bahwa dua-duanya boleh, karena telah shahih dari riwayat tentangnya. Bahkan, secara bahasa – kalau dirasa-rasa – jawaban : Assalamu’alaikum (dengan dlamir jamak) lebih enak didengar; karena lazim dalam bahasa Arab bahwa penggunaan dlamir jamak untuk orang tunggal adalah untuk memuliakannya dan lebih “halus”. Wallaahu a’lam.
  7. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Tambahan :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad 'Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata "man" ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    عن محمد بن عمرو بن عطاء أنه قال كنت جالسا عند عبد الله بن عباس فدخل عليه رجل من أهل اليمن فقال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
    [Al-Muwaththa' Imam Malik juz 2 hadits no. 1722 - Perhatikan : Orang dari Yaman tersebut mengucapkan pada Ibnu 'Abbas dengan dlamir jamak. Atau kalau misal dianggap bahwa yang dituju bukan hanya Ibnu 'Abbas, hadits tersebut tertuju pada dua orang, yaitu Muhammad bin 'Amr dan Ibnu 'Abbas - yang seharusnya menggunakan dlamir mutsanna -, akan tetapi orang tersebut tetap menggunakan dlamir jamak]
    Banyak lagi akh yang mengkhabarkan penggunaan “kum” pada orang tunggal. Barusan ana nyari-nyari lagi tentang hal ini dalam beberapa masanid, sunan, atau yang lainnya. Wallaahu a’lam.
  8. Abu Shalih berkata

    Berkata Akhi Abul Jauza’ :
    “Bahkan, secara bahasa – kalau dirasa-rasa – jawaban : Assalamu’alaikum (dengan dlamir jamak) lebih enak didengar; karena lazim dalam bahasa Arab bahwa penggunaan dlamir jamak untuk orang tunggal adalah untuk memuliakannya dan lebih “halus”.”
    kami berkata :
    Penggunaan dhomir tunggal kepada orang tunggal adalah lebih utama (yang mendahului kami dalam hal ini sejauh pengetahuan kami adalah Syeikh Muhammad Al ‘Utsaimin dan Syeikh Sholih Alu Syeikh dalam ceramah beliau ketika menjelaskan kayfiyah salam dari Abu Darda radlillahu’anh), hal ini karena petunjuknya datang langsung dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam siyaq perintah sebagaimana kepada para sahabatnya, telah disebutkan seperti hadits no. 1 dari jabir bin Muslim, radliallahu’anh
    Demikian pula berdasarkan perintah Nabi untuk salam kepada beliau kepada para sahabat ketika dalam shalat ketika beliau masih hidup (hadits no.2) :
    Ketika Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berbalik wajah kearah kami, beliau bersabda :
    “Sesungguhnya Allahlah Assalam (maha pemberi kesalamatan), bila kalian duduk dalam shalat, maka katakanlah :
    Attahiyatu lillah, wa sholatu wathoyyibatu, Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullah…”(Shahih Al Bukhari, 5876)
    dan dengan ini semua tidak mungkin kita katakan bahwa para sahabat kurang memuliakan nabi sallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak memilih cara salam yang lebih memuliakan (atau lebih halus) nabi di antara cara-cara memuliakan beliau sallallahu ‘alaihi wasallam yang mungkin.
    Ini tentu juga menolak salah satu dalil yang Al Akh Abul Jauza’ bawakan :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Karena perkataan ini seolah-olah menyalahkan sabda nabi sallallahu ‘alaihi wasallam (pada hadits no. 1):
    “maka mereka berkata: ini adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam , maka saya berkata :
    “Alaikassalam wahai rasulullah…”sebanyak 2 kali.
    Maka beliau berkata :
    Janganlah engkau berkata ‘alaikassalam, tetapi katakanlah Assalamu’alaika
    dan dalil dari pertama yang dibawakan :
    riwayat berikut :
    عن عمر قال كنت رديف أبي بكر فيمر على القوم فيقول السلام عليكم فيقولون السلام عليكم ورحمة الله ويقول السلام عليكم ورحمة الله فيقولون السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فقال أبو بكر فضلنا الناس اليوم بزيادة كثيرة
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits no. 987; shahihul-isnad sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adaabul-Mufrad].
    Menyelisihi Kayfiyah salam dari malaikat yang tentunya lebih dekat dengan shohibussyariat (Allah ta’ala) dari pada orang yang berjumpa dengan orang yang dijumpai Abu Bakar (meski kami juga dapat berkata bahwa ada kemungkinan bersama Abu bakar ada orang lain termasuk Umar radlillahu’anhuma, Alihtimal Yud’iful Istidlal-kemungkinan melemahkan istidlal), tetap menggunakan dhomir tunggal ketika menjawab salam nabi adam ‘alaihissalam (hadits no.3) :
    “Allah menciptakan Adam, dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian Allah berkata : “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu” kemudian Adam berkata : Assalamu’alaikum, maka para malaikat menjawab : “assalamu’alaika warahmatullah”
    Shahih Bukhari, 5873 dalam riwayat lain, Nabi berkata : maka para mala’ikat pun menambah salamnya dengan warahmatullah…(Shahih Muslim, 2841)
    Para malaikat tetap menggunakan dhomir (kata ganti) ka ketika menjawab salam Adam dan tidak kum.
    salam ini pada hakikatnya yang dimaksudkan menjadi contoh bagi anak Adam sebagaimana Allah katakan :
    “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu”
    Akhi Abul Jauza’ juga berkata :
    Tambahan :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Konteks pembahasan adalah dalam mussalam ‘alaih (yang diberi salam), bukan Al musallim (yang menyampaikan salam), adapun dalam hadits di atas “man” tersebut adalah Al Musallim, yang artinya ‘Amm ‘ala kulli afrodin bila hasr.
    Kalaupun memang benar-benar umum (untuk musallam ‘alaih) maka hal tersebut ditakhsis oleh sejumlah sabda nabi dan perbuatan dan nabi
    sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri.
    Abu Shalih
    Wallahu Subhanahu A’lam.
  9. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Terima kasih atas respon yang diberikan oleh saudaraku yang mulia lagi berilmu : Abu Shalih.
    Sebenarnya, bagi ana, perkaranya adalah sederhana. Selagi ada dalil shahih yang mendasari, maka itu boleh diamalkan. Hal itu tentu merupakan wujud kaidah emas para imam : Idzaa shahhal-hadiitsu fahuwa madzhabii. Beberapa hadits memang telah dinukil oleh akh Abu Shalih.
    Hadits (1) menggunakan dlamir tunggal; dimana dalam hadits ini ada penjelasan hukum dilarangnya kita mengucapkan ‘Alaikas-salaam.
    Hadits (2) menggunakan dlamir tunggal; dimana hadits ini mengandung hukum lafadh shalawat ketika shalat.
    Hadits (3) menggunakan dlamir tunggal, yaitu jawaban malaikat kepada ‘Adan ‘alaihis-salaam.
    Dst.
    Kemudian akh Abu Shalih mengatakan bahwa hadits-hadits/riwayat-riwayat yang ana tuliskan “bertentangan” dengan hadits yang beliau bawakan.
    Abu Al-Jauzaa’ berkata : “Mengapa harus dita’arudlkan padahal dua-duanya merupakan riwayat yang sah dan tidak ada pertentangan dalam makna ?”. Kita lihat dalam Al-Adabul-Mufrad no. 987. Dalam atsar tersebut menunjukkan pada kita bahwa salam kepada orang tunggal dengan “kum” itu sudah sangat lazim diucapkan oleh para shahabat di kala itu. Begitu pula tercermin pada Al-Adaabul-Mufrad no. 1037 dan Al-Muwaththa’ no. 1722.
    Dan yang sangat jelas adalah penyebutan riwayat dalam Shahihul-Jami’ nomor 790 atau bisa ditengok dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1403; dimana beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila seseorang bertemu dengan saudaranya [perhatikan hadits ini menggunakan bentuk tunggal], hendaklah ia mengucapkan Assalamu’alaikum…..dst”.
    Begitu juga yang terdapat dalam Al-Muntakhabnya ‘Abdun bin Humaid.
    Akh Abu Shalih juga menambahkan bahwa riwayat yang ana bawakan dibawakan dalam konteks musallam ‘alaihi, bukan Al-Musallim. Ana tidak akan menjawab dan menanggapi, karena sebenarnya telah terjawab dari riwayat-riwayat yang dicontohkan oleh akh Abu Shalih dan juga anba bawakan.
    Antum mengatakan bahwasannya beberapa riwayat yang ana ada “kemungkinan” bahwa yang diberi salam itu tidak sendirian. Jawaban “kemungkinan” itu sendiri telah membatalkan hujjah antum, sebab “kemungkinan” pula hadits tersebut tetap menceritakan orang tunggal. Bukankah manthuq lebih didahulukan akhi ? Manthuqnya sangat jelas berbicara tentang tunggal.
    Perkataan ana bahwa jamak lebih halus sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa jawaban bentuk mufrad tidak halus. Mungkin tidak perlu ana panjangkan, karena ana yakin antum pun telah paham maksud ana.
    Intinya, dua-duanya boleh diucapkan baik dengan mufrad maupun jamak. Wallaahu a’lam.
  10. Abu Faris an-Nuri berkata

    Maaf, ikut nimbrung dikit ya… ^_^ (setelah sebelumya berdiam diri) gpp khann?
    Secara substansi, saya cenderung sependapat dg Abul Jauzaa` dlm hal ini… (stl beberapa kali beda pendapat dg beliau :p)
    Katakanlah, yg tepat adalah menggunakan dhamir tunggal, namun manakah dalil yg melarang penggunaan dalil jama’? Jika keduanya dapat digunakan, terlepas dari mana yg sebenarnya lebih tepat dan utama utk digunakan (dan sepertinya inilah yg ‘diperdebatkan’), maka rasanya hal ini terlalu urgen untuk dipermasalahkan ^_^
    Sependek yg saya ketahui, dalam bahasa Arab sendiri terdapat pergeseran nilai, yaitu seseorang sepertinya ‘kurang sopan’ untuk menggunakan dhamir tunggal, karena itu biasanya tetap digunakan dhamir jama’ meskipun mukhatab-nya (yg diajak bicara) adalah tunggal.
    Wallahu a’lam bish shawab.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
  11. Abu Faris an-Nuri berkata

    Ralat… maksud saya: … hal ini tidak terlalu urgen untuk dipermasalahkan
  12. Abu Shalih berkata

    Abu Shalih beri’tidzar untuk terlambat memberikan tanggapan atas 2 postingan terakhir, dikarenakan harus ndeso terlebih dahulu selama kira-kira sepekan.
    Al Ustdaz yang mulia Abul Jauza’ berlebihan dengan menyebut ana berilmu, ana tidak lebih dari tuwaiwailib (tasghir-kalo ada-dari tuwailib :)) yang sangat membutuhkan bimbingan dari yang para salafyiin yang jauh lebih berilmu di sini, sehingga mohon diluruskan bila ditemukan adanya kejelasan yang jelas pada abu shalih.
    Dari beberapa postingan Al Akh Abul Jauza’ rasanya postingan terakhirlah yang cukup memberikan kejelasan, innalllah yuhibul inshoff..sesungguhnya Allah mencintai inshoff..
    Sebelumnya ana ingin sedikit mengomentari thread ustadz yang sangat murah senyum nan produktif dalam menorehkan aneka pembahasan ilmiah yang telah membantu menghidupkan budaya ‘ilmiah dalam millis ini, Al ustadz Abu Faris.., terlepas akurasi hasil tarjihaat beliau..
    Beliau berkata :
    “Katakanlah, yg tepat adalah menggunakan dhamir tunggal, namun manakah dalil yg melarang penggunaan dalil jama’?”
    Ana kurang setuju dengan pendapat beliau dalam hal ini.
    Sejauh yang ana fahami (bukan berarti pemahamannya jauh loh..:) ) adalah pengucapan salam adalah termasuk ke dalam bab ibadah yang pada asalnya adalah tawaquf, menunggu petunjuk pembuat syariat, sehingga bentuk pertanyaannya lebih mengarah mana dalil yang menunjang bahwa kayfiyah salam tertentu dapat digunakan ?
    Beberapa dalil yang ana sebutkan menunjukkan bahwa nabi sallallahu’alaihi wasallam benar-benar memberikan bimbingan dalam salam yang rasio kita hampir tidak mungkin menjangkaunya sehingga semakin menunjukkan bahwa kayfiyah salam benar-benar masuk bab ta’abbudi yang sekali lagi pada asalnya adalah tawaquf dan haram. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa ketika memulai salam kita dilarang menggunakan lafadz ‘Alaikassalam (karena merupakan salam kepada orang yang telah mati) sementara ketika menjawabnya (dengan lafadz ‘alaikassalam) diperbolehkan ? hanya dari petunjuk nabilah kita tahu.
    Dari sinilah para Imam kita pada zaman sekarang seperti syeikh Ibnu ‘Utsaimin atau syeikh Shalih Alu Syaikh tetap membahas hal ini (mana yang benar/lebih utama) dengan tetap mengedepankan dalil-dalil ‘naqli sebagai acuan dalam pembahasan dan tarjih mereka. Mustahil rasanya mereka tidak mengetahui adanya pergeseran nilai kesopanan yang menuntut adanya pergantian dari satu dhomir ke dhomir yang lainnya. Hal ini ana yakin telah terpatri dalam manhaj mereka : “bila telah tetap adanya suatu nash maka batallah ro’yu atau rasio “
    sehingga yang terbaik bagi kita adalah tetap mengeksplorasi dalil-dalil yang shahih yang ada dan mencari mana yang benar dan bila memang dalil yang ada dapat digunakan maka manakah yang lebih utama dengan berlandaskan keyakinan bahwa kayfiyah salam masuk ke dalam bab ibadah yang disyariatkan dalam islam,
    Contoh praktik yang biasa kita laksanakan dalam sikap ketawaqufan penggunaan dhomir adalah saat bertasymit kepada saudara kita yang bersin dan mengucapkan hamdallah, sejauh ini ana tidak pernah sekalipun ada seorang ikhwan yang bertasymit dengan ucapan yarhamukumullah, namun kita tetap menggunakan yarhamukallah yang menunjukkan kita tetap konsisten dalam satu hal ini. Dan dalam penggunaan ini tidak terpikirka oleh kita bahwa menggunakan “yarhamukallah” kurang sopan sehingga perlu menggantinya dengan yarhamukumullah.
    Setelah mendalami lebih dalil-dalil yang dipaparkan oleh Al Akh Abul Jauza’ insya Allah kebenaran ada bersama beliau, bahwa syariat salam kepada orang tunggal juga warid dari nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, dalil yang sangat sharih dalam hal ini adalah riwayat At Tirmidzi :
    حدثنا سويد أخبرنا عبد الله أخبرنا خالد الحذاء عن أبي تميمة الهجيمي عن رجل من قومه قال : طلبت النبي صلى الله عليه وسلم فلم أقدر عليه فجلست فإذا نفر هو فيهم ولا أعرفه وهو يصلح بينهم فلما فزع قام معه بعضهم فقالوا يا رسول الله فلما رأيت ذلك قلت عليك السلام يا رسول الله عليك السلام يا رسول الله عليك السلام يا رسول الله قال إن عليك السلام تحية الميت إن عليك السلام تحية الميت ثلاثا ثم أقبل علي فقال إذا لقي الرجل أخاه المسلم فليقل السلام عليكم ورحمة الله ثم رد علي النبي صلى الله عليه وسلم قال وعليك ورحمة الله وعليك ورحمة الله وعليك ورحمة ال
    Takhrij hadits ini ada pada shahih jami’ussoghir sebagaimana yang disebutkan oleh Al Akh Abul Jauza’
    Kemudian ana sebenarnya tidak mempertentangkan semua hadits yang dibawakan oleh Abul Jauza’, namun ana melihat ini berdasarkan dzahir hadits yang ana fahami pada salah satu hadits yang beliau gunakan.
    Hadits tersebut adalah :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Terjemahan bagian akhirnya :
    Dari Mu’awiyyah bin Qurroh ia berkata : berkata aby kepadaku :
    Wahai anakku, bila seorang laki-laki bertemu denganmu Assalam’alaikum kemudian ia berkata : Assalamu’alaikum maka jangan katakan : wa’alaika (tunggal saja), seolah-olah engkau hanya mengkhususkan (salam tersebut) kepadanya saja, sesungguhnya ia tidak sendiri, tetapi gunakanlah Assalamu’alaikum.
    Dalam hadits ini, Qurroh radlilallahu ‘anh (seorang shohaby) menyalahkan anaknya (mu’awiyah) bila salam dengan menggunakan ka, dan demikian pula menjawab salam dengan wa’alaika. Illahnya karena hal menurutnya pada setiap orang tidak sendiri (ana menduga adalah keberadaan malaikat pengawas , pencatat dan penjaga mukmin) sehingga gunakanlah assalamu’alaikum dan Wa’alaikum salam.
    Bukankah perkataan ini, sekali lagi, seolah-olah menyalahkan petunjuk nabi sallallahu’alaihi wasalam ? sebab perkataan nabi ketika memberikan petunjuk salam (hadits jabir bin Muslim) adalah dengan dhomir tunggal demikian pula kayfiyah praktik menjawab salam nabi sallallahu ’alaihi wasallam kepada para sahabatnya, misalnya ketika menjawab salam orang yang salah dalam sholat (musii’us sholah), dengan wa’alaikassalam, demikian pula salam kepada Abu Dzar dan seterusnya ?
    Selain itu pula hadits ini hanya berstatus mauquf pada shahabat, tentu tidak bisa dibandingkan dengan hadits marfu’ sampai ke Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Atau Abul Jauza’ memiliki pemahaman yang lebih jeli terhadap hadits ini sehingga bias membantu Abu shalih dalam memahaminya.
    Adapun hadits cerita Abu Bakar dan Umar ketika bertemu dengan sekelompok kaum (pasti sahabat ?) pertama, kami tidak menggunakan ini sebagai hujah, sehingga kami pun menggunakan ucapan ‘tamridl’ Al Ihtimal yudl’iful Istidlal, karena maksudnya adalah lebih pada menguji ‘kekuatan’ dalil lawan kami bahwa hadits ini menunjukkan salam benar-benar hanya pada Abu Bakar saja, dan bukan maksud kami menggunakannya sebagai dalil. Dan yang kedua, pemastian bahwa kaum yang dijumpai Abu Bakar dan Umar adalah para sahabat, sehingga kita bisa mengatakannya bahwa hal ini adalah lafadz salam yang lazim dan lebih dibiasakan oleh para sahabat, fiihi nadzrun.
    Selanjutnya klarifikasi saja, hadits yang dinukil :
    Dan Al Muwatha’ 470
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Abu Shalih berkata : kembali katakan benar bahwa man adalah lafadz umum, yang maksudnya adalah ‘aam ‘ala kuli afrodin (pada tiap orang tunggal bukan jamak) bila hasr. Maknana Tiap individu yang menyampaikan salam dengan lafadz tersebut mendapatkan ganjaran sesuai yang disebutkan dalam hadits, namun kami heran kenapa Al Akh Abul Jauza’ memaknainya nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak ? karena makna umum tersebut tidak berkaitan dengan orang yang menyampaikannya apakah jamak atau tunggal, karena jelas lafadz man adalah untuk tiap orang tunggal yang mengucapkan salam. oleh sebab itulah Abu shalih sebelumnya mengatakan konteks pembahasan kan dalam Al Musallam ‘Alaih (orang yang diberi salam tunggal atau jamak), mengapa larinya ke man yang pembahasannya adalah tentang Al Musallim, atau mungkin Abu Shalih yang salah memahami maksud Akh Abul Jauza’,
    ‘ala kulli hal..Dari pembahasan ini, insya Allah kita dapat mengambil banyak pelajaran, Syeikh ibnu ‘utsaimin..mengoreksi pendapat Al imam An Nawawai rahimahumallah tentang pengutamaan penggunaan kum pada orang tunggal karena dari dalil-dalil yang ada ini kurang tepat, dan kejelian Al Akh Abul Jauza’ memberikan ta’liqoot tambahan terhadap hal ini dan insya Allah, kita tidak perlu ragu lagi untuk menggunakan dhomir jamak pada salam kepada orang tungg al…jazaka(dengan tidak bermaksud sedikitpun kurang sopan:))llah khairal Jaza’..
    Adapun yang lebih utama, kayaknya perlu analisis lebih lanjut lagi, walaupun jiwa ini tetap lebih cenderung pada dhomir ka mengingat penerapan langsung dari nabi lebih banyak dengan menggunakan dhomir ini, hatta dalam hadits riwayat tirmidzi di atas setelah bersabda idza laqiya Ar Rajulu…nabi tetap menjawab salam sahabat dengan wa’alaikassalam…
    Wallahu subhananu A’lam..
    Mohon maaf kepada Al ustadzaani bila ada kata yang kurang berkenan dari Abu Shalih..
    Salam dari puncak menara wisma Al fath..
    Abu Shalih
  13. Abu shalih berkata

    Setelah mendalami lebih dalil-dalil yang dipaparkan oleh Al Akh Abul Jauza’ insya Allah kebenaran ada bersama beliau, bahwa syariat salam kepada orang tunggal juga warid dari nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
    ralat :
    maksudnya “syariat salam dengan lafadz kum kepada orang tunggal”
  14. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Terima kasih atas tanggapannya………. Dan jikalau urusannya jadi panjang. Tidak ada kata buang waktu jika kita meniatkan untuk mengambil faedah dari ilmu agama, walaupun itu mungkin hanya masalah “ka” dan “kum”.
    Mengenai hadits Mu’awiyyah bin Qurrah, ana memahaminya adalah bahwa pelafadhan “kum” pada objek tunggal itu sudah sangat dikenal di kalangan shahabat. Satu sisi, bapaknya Mu’awiyyah ‘membenarkan’ jika ada salah seorang (tunggal) bertemu dengan Mu’awiyyah dengan ucapan Assalamu’alaiKUM, maka hendaknya Mu’awiyyah menjawab : Wa’alaiKUM. Memang ada kemungkinan yang dimaksudkan adalah sebagaimana perkataan antum, yaitu adanya malaikat pencatat. Ada juga kemungkinan lain, yaitu bahwa ia memang benar-benar bersama orang lain (alias tidak sendiri ketika mengucapkan). Kita berhusnudhan bahwa mereka (para shahabat) tidak hendak untuk menyalahkan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
    Adapun kasus Abu Bakar dan ‘Umar, maka jawaban adalah sebagaimana di atas; yaitu bahwa salam dengan dlamir jamak kepada orang tunggal itu sudah lazim dilakukan oleh salaf.
    Abu Al-Jauzaa’ berkata :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Setelah dipikir-pikir, betul ada kesalahan redaksi. Maaf ya jika telah menimbulkan salah persepsi. Maksud ana sebenarnya adalah bahwa kata man yang umum (nakirah) ini dihubungkan dengan kalimat setelahnya : “Man qaala Assalamu’alaikum”. Nah,… objek yang dituju oleh kata “man” ini kan juga nakirah (umum). Apakah si Al Musallam ‘Alaih itu tunggal atau jamak. Itu sebenarnya maksud ana akh………. Kembali kepada keumuman lafadhnya.
    Sebenarnya ana sempat mengeksplor lebih lanjut mengenai contoh-contoh hadits yang menunjukkan tentang dibolehkannya menggunakan lafadh “KUM”. Ada beberapa yang ana peroleh. Ada yang shahih, adapula yang tidak shahih. Namun, satu contoh riwayat Tirmidzi di atas jika telah memberi kemanfaatan bagi kita semua. Dan itu telah mencukupkan bagi ana, insyaAllah……….
    ‘Alaa kulli haal, mohon maaf jika ada kesalahan. Maklum akh, ana masih amatiran.
  15. Abu Faris an-Nuri berkata

    Terima kasih atas koreksinya… :p
    Maksud saya, sekiranya kita sudah sepakat (?) tentang kebolehannya, maka rasanya tidak terlalu urgen rasanya ‘perdebatan’ yg panjang ini. Karena kesimpulannya sudah dapat dikatakan sama, yaitu: boleh. Kecuali, apabila yg satu berpendapat boleh dan yg lain berpendapat tidak boleh (minimal makruh). Lagipula, hukum dalam permasalahan ini dikembalikan kepada hukum salam itu sendiri. Artinya, berkisar antara sunnah dan wajib. Dan tidak dapat dikatakan kepada pendapat yg berseberangan itu sebagai tidak sunnah. Paling banter untuk dikatakan adalah: yg ‘lebih pas’ adalah begini.
    Terkait kaidah yg disebutkan oleh Ustadz Abu Shalih dlm mengomentari tanggapan saya, yaitu bahwa: al-ashl fil ‘ibadat at-tauqif au at-tahrim (hukum asal dalam ibadah adl haram atau terhenti pada dalil), sehingga tidak diperlukan lagi pertanyaan: “mana dalil yg melarang?”, maka sekiranya beliau konsisten berpegang pada kaidah tersebut, tentu kesimpulan yg seharusnya lahir dari beliau adalah: haram hukumnya (atau bid’ah) menggunakan dhamir jama’ (kata ganti plural) dalam salam untuk mukhatab (yg diajak bicara) tunggal. Bukankah demikian. Namun apakah ternyata demikian kesimpulan Ustadz? :p
    Dan, menurut saya, ternyata di situlah sebenarnya letak permasalahannya, yaitu: apakah penggunaan dhamir (kata ganti) merupakan perkara ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na? Jika kita mengatakan ta’abbudi, artinya dhamir dalam salam yg terdapat dalam nash tidak dapat di-ubah2 atau disesuaikan dg mukhathab, dan terhenti dg nash. Namun, jika kita mengatakan bahwa perkara ini adalah ma’qul al-ma’na, maka dhamir dalam salam dapat disesuaikan dg mukhathab.
    Selanjutnya, jika ternyata kita menguatkan bahwa hal ini adalah ma’qul al-ma’na, berarti permasalahannya dikembalikan kepada pengertian dan pemahaman lughah (etimologis) itu sendiri (yg ternyata juga bukanlah hal yg konstan). Bukankah demikian?
    Wallahu a’lam bish shawab.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
    NB. Sekedar ifadah, terdapat sebagian masalah fiqh yg sumber perbedaan pendapatnya disebabkan oleh penentukan apakah perkara tersebut termasuk ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na? Hal ini tentunya merupakan perkara yg ma’ruf di kalangan penuntut ilmu. Misalnya (seingat saya): Perbedaan pendapat tentang bolehkah khuthbah Jum’at selain dg bahasa Arab; bolehkah mengucapkan doa dalam sujud dg doa ‘buatan sendiri’ (yg tidak disebutkan dalam al-Qur`an), hukum memasukkan tangan ke dalam bejana ketika bangun tidur tanpa mencucinya terlebih dahulu, dan lain-lain.
    Wallahu a’lam bish shawab.
  16. Abu Shalih berkata

    Jazakumallah atas thread kilat dari Al Ustadzani sekalian.
    Yang pertama, ana sangat jauh untuk bisa disebut sebagai ustadz sehingga mohon embel-embel ini tidak melekat sama sekali pada “Abu Shalih”. Adapun Akhi Abul Jauza’ dan Abu Faris rasanya ana memiliki salaf : ) dalam hal ini sehingga ana tak sungkan pula menyebut keduanya dengan ustadz.
    Selanjutnya, meski yang kita bahas di sini adlaah masalah ka dan kum, mudah2an nilai manfaatnya tidak kecil dan kalau kita pikirkan bukankah implikasinya cukup luas ? berapa kali kita mengucapkan salam kepada orang-orang disekitar kita ?
    Tepat apa yang dikatakan oleh Ust.. Abu Faris bahwa pintu masuk pembahasan dapat dimulai dari penentuan status hukum salam itu sendiri, apakah masuk ke dalam bab ta’abbudi atau bukan.
    Ana merasa ini adalah permasalahan yang cukup tipis dalam batasnya dan ana rasa tidak mudah untuk menentukannya. Berarti Abu Shalih terburu2 dalam mengkalim ? kita uraikan dulu..
    bila memperhatikan perkataan Syeikh ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah-dalam syarh riyadhus shalihin- ketika membuka pertanyaan, sebagaimana uslub beliau untuk meningkatkan tanbih dari pembaca / pendengar saat muhadhoroh, yakni :
    Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
    Asshohih..(Yang benar) adalah : Assalamu’alaika (dhomir tunggal-pen). Demikianlah yang tsabit dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits Al musii’u fisholah (yang sholatnya salah), ia berkata : Assalamu’alaika..
    Dzahirnya dari kalam beliau ini, (Ashohih) memberikan mafhum mukholafah yang selainnya adalah ghoiru shohih aw makruhun limukholafati sunnati nabi ‘alahi sholatu wasallam. Karena bila kerangkanya adalah sekedar dalam hubungan keutamaan, maka mungkin akan digunakan ucapan Al Aula.
    Demikian pula pertanyaan yang digunakan : Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
    Mafhum yang cepat kita tangkap dalam benak kita dari bentuk pertanyaan ini, mana yang sesuai dengan sunnah…?
    Kemungkinan kedua, taruhlah misalnya beliau tidak menganggap masalah ini tidak masuk ke dalam bab ta’abbudi secara jazm, namun dari keseluruhan pembahasan beliau hingga selesai tidak ada indikasi dari beliau untuk memberikan ‘kelapangan’ untuk bebas menggunakan dhomir lainnya yakni kum atau lainnya, karena inilah hasil tarjih beliau-yakni menggunakan dhomir ka-yang ana rasa ini adalah bentuk kewara’an dari beliau. Insya Allah ini adalah bentuk sikap beliau yang bisa kita teladani. Yakni tidak mudah menghukumi ini adalah sekedar berstatus ma’qul al ma’na sebagai bentuk kewara’an.
    Bila Al Ust. Abu faris dapat membuktikan bahwa ini adalah sekedar berstatus ma’qul ql ma’na fal yatafaddhol Masykuuron…
    Ifadahnya ditunggu…
    Selanjutnya, insya Allah ana tetap konsisten, anggapan bahwa ana tidak konsisten kemungkinan lahir karena Ust. Abu Faris tidak menyelesaikan pembacaan postingan ana dengan sempurna sehingga bisa mengetahui alur bagaimana pada akhirnya ana sependapat dengan Ust. Abul Jauza’. Ana pada akhirnya sependapat dengan beliau setelah ‘beradu’ dalil antara dalil yang sebelumnya ana sebutkan dan dalil yang beliau bawakan, dan ternyata Abu Shalih luput dalam menggabungkan beberapa dalil sehingga berkesimpulan awal pentarjihan pendapat Imam Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah. Ternyata Abul Jauza dapat lebih ‘canggih’ dalam bahs al Adillah sehingga bisa memberikan kesimpulan berbeda dari ana sebelumnya, dalam sikap seperti inilah ana lebih selaras dan lebih melapangkan hati.
    Pertanyaan balik dari ana, bila Al Ustadz Abu Faris sejak awal menganggap ini (antara ka dan kum) adalah perkara ma’qul al ma’na maka dalam perkara lain, contohnya seperti yang ana sebutkan yakni menjawab tasymit, seharusnya selalu menggunakan yarhamukumullah dan Jazakumullah ketika bersyukur atas kebaikan orang lain, karena kalau hukum asalnya tidak berbeda maka dicari yang tidak ‘kurang sopan’ to ?
    Mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan…nuwun sewu : )
    Wallahu ta’ala a’alam
    Salam Abu Shalih
  17. Abu Faris an-Nuri berkata

    Hasanan ya Jazakumullah khairan ya Ustadzana Aba Shalih… ^_^ (pake jama’, hehe)
    Sekedar ifadah, terkait dg melacak akar permasalahan atau sebab perbedaan pendapat, maka terkadang hal itu berdasarkan penelitian dan kesimpulan orang yg belakangan, yg mana hal itu tidak disebutkan oleh para pendahulu sebagai pemilik pendapat.
    Lebih jelasnya, ambil saja semisal kitab Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Rusyd. Beliau sering kali menyebutkan sababul khilaf (sebab perbedaan) dalam permasalahan ini dan itu adalah ‘begini’ dan ‘begitu’. Padahal ‘begini’ dan ‘begitu’ tersebut tidak disebutkan oleh para ulama yg pendapatnya dikutip oleh Ibn Rusyd. Begitu pula dg menyatakan bahwa sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan persepsi apakah hal tsb masuk ke dalam ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na. Bisa jadi ulama pemilik pendapat tidak menyebutkan bahwa ini adalah ma’qul al-ma’na atau ta’abbudi, namun orang yg datang setelahnya dapat membuat kesimpulan bahwa akar perbedaan tersebut adalah dari sisi penentuan ma’qul al-ma’na atau ta’abbudi.
    Terkait dg pertanyaan antum, untuk saya pribadi dan yg saya amalkan adalah, saya cenderung kepada bahwa penentuan dhamir dalam salam adalah sesuatu yg ma’qul al-ma’na. Karena itu, saya sering memakai lafazh: jazakumullahu khairan, meskipun untuk mukhathab yg tunggal, apalagi jika mukhathabnya adalah orang tua atau orang yg terhormat, karena hal itu ‘lebih halus’ (gantinya ‘lebih sopan’, hehe) secara bahasa (sependek yg saya tahu). Namun, tentunya saya pun sama sekali tidak berpendapat bahwa memakai dhamir tunggal itu terlarang atau makruh.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
    NB: Mungkin ada hal yg selama ini terlewatkan, sebenarnya secara tidak langsung, disadari maupun tidak, kita ini (saya, Ustadz Abu Shalih, dan Ustadz Abul Jauzaa`) bersepakat bahwa penentuan dhamir dalam hal ini adalah ma’qul al-ma’na, meskipun dg ‘uraian’ dan ‘gaya pembahasan’ yg berbeda. Coba dipikirkan dan direnungkan deh… :p

No comments: