Friday, August 16, 2013

Wajibkah membaca Al-Fatihah dalam sholat jahriyah?

Admin : Topik ini masih dalam ranah diskusi, tulisan ringan berikut dimaksudkan membuka diskusi lanjut dalam permasalahan ini.Penulis dalam hal ini menguatkan pendapat akan wajibnya membaca al-fatihah walaupun dalam sholat jahriyah dibelakang imam
Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh,
Sebelumnya saya buka, dengan mengingatkan bahwa para ulama berselisih pendapat salafan wa khalafan, hingga para sahabat telah berselisih dalam hal ini.Oleh karenanya mengenai membaca dibelakang imam,sungguh bijak ucapan seorang ulama “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam).Tentunya hal ini jika permasalahan ini tidak jelas mendudukkan dalil dan ucapan yang ada bagi kita.Adapun jika sudah jelas,maka sebagaimana ucapan Al-Imam Asy-Syafi’i :Telah ijma’ kaum muslimin bahwasannya jika seseorang telah jelas baginya sunnah Rasulillah shalallah ‘alaihi wasalam tidak ada baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut hanya karena ucapan seseorang diantara manusia.
Fabillah nasta’in
Ulama berbeda pendapat kedalam tiga pemahaman dalam masalah ini (lihat file yang dikirim Abu Ishaq yang berjudul : “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)“.Saya berikan tambahan seperlunya.
1. Wajib diam mendengarkan bacaan Imam jika bacaannya dikeraskan.Apabila tidak terdengar bacaab Imam,misalkan karena jauh maka wajib membaca.Pendapat inilah yang dirajihkan dalam artikel tersebut, yang berarti inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Berbaris dalam barisan ini diantaranya Abu Darda radhiallahu ‘anhu, Imam Malik bin Anas,dan lainnnya.
2. Wajib membaca al-fatihah secara mutlak baik dalam shalat jahriyah atausirriyah, juga baik mendengar suara imam maupun tidak.Berbaris dalam pendapat ini diantaranya:Umar bin Khattab,Ubadah bin Shamit,Abdullah bin Amr bin ‘Ash,Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum jami’an,Imam Syafi’i dalam qoul jadidnya,Ishaq bin Rahawaih,Imam Al-Bukhari,Imam Asy-Syaukani,dan lain-lain.Pendapat inilah yang sedang dibantah dalam artikel “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
3.Tidak wajib membaca,baik dalam shalat jahriyah maupun sirriyah.Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Ali bin Abi Thalib,Zaid bin Haritsah,Jabir bin Abdillah,Sa’ad bin Abi Waqqash,Abdullah bin Mas’ud,Imam Abu Hanifah dan lainnya.
Pendapat pertama, seolah dipilih sebagai jalan tengah dari dua kutub berlawanan dari pendapat kedua dan ketiga yang saling berseberangan.
Jawaban Atas Artikel kiriman Saudara Abu Ishaq yang berjudul “Hukmu Qiroatil Fatihah Li Makmum (Mukhtashor kalam Ibn Taimiyah fi hukmil qiroah khalfal imam)”.
Karena berupa artikel,maka saya jawab yang sebagian besarnya saya ambil dari artikel ringan juga yang berjudul Al-Adillah ‘Ala Rukniyah Qiro’ah Al-Fatihah Lil- ma’mum wa roddu ‘alal Mukhaliftulisan dari Abu Abdirrahman Muhammad bin Imran.Point-point berikut hanya jawaban dari pokok argumen artikel tersebut, disamping sekaligus ada tambahan untuk argument yang tidak disebutkan dalam artikel tesebut.
Berdalil dengan surat Al-A’rof 204 :Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun”(Dan apabila dibacakan al-Qur’an,maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat).
Al-Jawab :
Sisi pertama, ketahuilah bahwa hadist-hadist yang sharih bahwa al-fatihah itu wajib adalah umum.
1. Dalam riwayat muslim,tirmidzi,An-Nasai,Abu Daud, Ibnu Majah,Imam Ahmad dan Imam Malik disebutkan, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam berkata (dalam lafadz riwayat Imam Ahmad):
(( أَيُّمَا صَلَاةٍ لَا يُقْرَأُ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ ثُمَّ هِيَ خِدَاجٌ))
(Shalat apa saja yang tidak dibaca didalamnya surat Al-Fatihah maka shalatnya rusak kemudian rusak dan rusak.)
(Khidaz disebutkan oleh Imam Albani dalam bukunya,artinya “An-Nuqshon wal fasad”)
Perhatikan yang saya garis bawahi (ayyuma sholatin).Huruf (Ayyu) menurut ulama ushul disebutkan sebagai minal huruf allati tadullu ‘alal umum (huruf yang menujukkan makna umum).Ditambah lagi bahwa kata “sholatin” yang berbentuknakiroh yang bermakna umum juga.Nabi tidak membedakan shalat imam atau shalat makmum, juga tidak membedakah shalat jahriyah ataupun sirriyah.Kaidah ushul mengatakan :
أن الأصل في العام أن يبقى على عمومه حتى يدل الدليل على التخصيص
(Asal dalam bentuk umum adalah tetap pada keumumannya sampai datang dalil yang menunjukkan kekhususannya)
Seandainya memang disana ada pengecualian, maka tentunya Nabi akan mengatakan :“Kecuali bagi makmum” atau “Kecuali bagi yang shalat dibelakang imam” atau yang semakna dengan ini
2.Hadist Ubadah bin Shamit, hadist muttafaqun ‘alaih:
(( لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ ))
(Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah)
Kembali perhatikan yang saya garis bawahi (laa shalata). Kata shalat bentuknya nakiroh.Adalah kaidah mengatakan :
أن النكرة في سياق النفي تدل على العموم
(Bahwa Nakirah dalam bentuk nafyu (peniadaan) menunjukkan makna umum)
Nabi menjelaskan bahwa shalat tidaklah sah apabila tidak membaca Al-Fatihah,sama saja apakah sebagai makmum atau ketika shalat sendiri atau ketika menjadi imam.Yang menunjukkan akan wajibnya membaca Al-Fatihah ini adalah kalimat “Laa shalata” sebagai peniadaan (nafyu).
Asal dari peniadaan adalah peniadaan wujud (nafyun lil wujud),apabila tidak mungkin dengan makna ini,maka nafyu tersebut dibawa kepada peniadaan keabsahan (nafyun lilshihhah).Dan apabila tetap tidak mungkin dengan makna kedua ini, maka dibawa maknanya kepada peniadaan kesempurnaan (nafyun lilkamal).Inilah urutan dari an-nafyu.
Contoh :
-Laa kholiqo illallah (tidak ada pencipta selain Allah ), maka peniadaan disini peniadaan wujud.
-Laa sholata bighoiri wudhu’ (tidak ada sholat dengan tanpa wudhu), maka peniadaan disini peniadaan keabsahan (sah).Karena bisa saja sholat dilakukan tanpa wudhu sebelumnya.
-Laa sholata bihadhroti tho’amin (tidak ada sholat dengan hadirnya makanan),maka peniadaan disini adalah peniadaan kesempurnaan.Karena sholat tetap sah walaupun dihadapannya tersedia makanan.
Setelah memahami perbedaan diatas, bagaimana penilaian kita dengan hadist Nabi “Laa sholata liman lam yaqro’ bifatihatil kitab”?Jawab : Mungkinkah orang shalat tanpa membaca Al-Fatihah? Mungkin saja!.Olehkarenanya penafian disini bukanlah penafian wujud.Maka penafian disini bisa dipastikan penafian urutan kedua, yakni penafian keabsahan (sah).Maka kita katakan bahwa tidak sah shalat tanpa membaca Al-fatihah.
Kaidah mengatakan :
الأصل في النصوص العامة أن تبقى على عمومها ، فلا تخصَّصُ إلا بدليل شرعيٍّ ، إما نصٌّ ، أو إجماعٌ ، أو قياس صحيح
(Asal dalam nash yang umum adalah tetap pada keumumannya, tidaklah dikhususkan kecuali dengan dalil syar’iy baik itu nash atau ijma’ atau qiyah yang shahih)
Pertanyaan , adakah disebutkan disana sesuatu yang mengkhususkan?
Sisi kedua,jawaban atas pendalilan dengan ayat “Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun
Berkata Imam Ahmad,bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dalam sholat.Maka ayat ini menunjukkan bahwa selayaknya bagi makmum untuk diam dan sibuk untuk mendengarkan bacaan alquran dari imam.
Al-Jawab:
Pertama,
Bahwa ayat yang kita bahas ini adalah umum (‘aam), adapun hadist-hadist tentang kewajiban membaca AL-Fatihah yang sudah saya sampaikan sebelumnya adalah kekhususan. Kaidah mengatakan :
إذا تعارض النص الصريح في المسألة مع غيره مما هو أعم فإنه يقدم الصحيح الصريح
(Apabila bertentangan nash yang shorih (gamblang) dalam suatu masalah dengan nash yang lainnya yang lebih umum,maka dikedepankan nash yang shahih dan gamblang tadi)
Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Mana yang lebih umum antara ayat Al-A’rof dengan hadist diatas ini? Al-Jawab : Ayat Al-A’rof lebih umum, walaupun keduanya bisa dikatakan umum (dalam artian bahwa hadist ini bisa dikhususkan untuk shalat sirriyah).Tetapi hadist ini sebagaimana yang beberapa kali saya dengar diungkapkan Al-Imam Ibnu Utsaimin adalah nash yang shorih tentang kewajiban Al-Fatihah.Dengan kaidah ini maka selayaknya yang didahulukan adalah hadist ini bukan ayat Al-A’rof.
Kedua,
Hadist Ubadah :,Laa shalata li man lam yaqro’ bifatihatil kitab seolah bertentangan dengan ayat Wa idza quri-al qur’an fastami’uu lahu wa anshituu la’allakum turhamun
Ungkapan Laa shalata menunjukkan syarat sah shalat,sehingga kewajiban membacanya adalah lebih kuat dari ayat Al-A’rof ini.Karena ayat Al-A’rof menunjukkan kewajiban mendengar,dan kewajiban mendengar tidaklah bertentangan dengan kewajiban sebagai rukun.Dasar pijakannya adalah sebagai berikut:
Kaidah mengatakan :
إذا تعارضت الأركان والواجبات قدمت الأركان على الواجبات
(Apabila bertentangan antara rukun-rukun dan kewajiban-kewajiban maka dikedepankan rukun atas kewajiban)
Membaca Al-Fatihah adalah kewajiban sebagai rukun dari sholat.Adapun wajib diam mendengar Al-Quran adalah kewajiban namun bukan rukun.Maka seharusnya didahulukan kewajiban sebagai rukun
Mungkin ada yang akan mengatakan, bahwa Al-Fatihah itu sebagai rukun adalah sebatas ijtihad ulama.Jadi kedudukannya sama ,antara dua kewajiban yang bertentangan.Satu kewajiban membaca dan yang lain kewajiban mendengar.Sehingga tidak bisa diterapkan kaidah diatas ini.Maka kami jawab sebagai berikut :
Ketahuilan bahwa ada dua jenis wajib : Wajib muttashil (Berkaitan langsung) dan wajib munfashil (terpisah).Hadist Al-Fatihah jelas berkaitan erat (muttashil) dengan shalat.Sedangkan ayat Al-A’rof kewajibannya terpisah (munfashil)
Kaidah mengatakan:
إذا تعارض الواجب المتصل بعبادة المكلف مع الواجب المنفصل ؛ فإنه يُقدم المتصل الذي أمر به إلزاماً على من فصل عنه
Apabila bertentangan antara wajib muttashil (berkaitan dengan ibadah tertentu) dengan kewajiban yang munfashil (terpisah tidak berkaitan langsung) maka didahulukan yang muttashil tadi dari yang munfashil.
Ketiga,
Adalah mungkin membaca Al-Fatihah dalam keadaan Imam berhenti sebentar sebelum membaca surat.Walaupun tidak ada dalil yang kuat Imam mesti berhenti sebentar, akan tetapi jika kebetulan kita bermakmum pada imam yang seperti ini ,maka kita lebih lagi wajib membacanya
Dalam kitab Al-Inshaf fi ma’rifati Ar-rajih Minal Khilaf disebutkan demikian :”Dianjurkan membaca Al-Fatihah disaat imam berhenti membaca.Inilah pendapat yang dipilih dalam manhaj dan juga merupakan pendapat jumhur ulama.Bahkan ada yang mengatakan wajib membaca Al-Fatihah tatkala imam berhenti membaca”
Berdalil dengan hadist:”Imam dijadikan sebagai anutan makmum.Jika ia bertakbir,bertakbirlah kalian dan jika ia membaca,diamlah kalian”(lihat shifat sholat Nabi oleh Imam Albani rahimahullah
Jawab : “Dan apabila imam membaca,maka diamlah” .Na’am (iya) kami sepakat diam,KECUALI surat Al-Fatihah.Disamping itu sanad hadist ini walaupun berterima akan tetapi lebih lemah dari tingkatan hadist-hadist yang menetapkan dengan jelas wajibnya membaca Al-Fatihah.Ulama Ushul mengatakan agar didahulukanAl-Ashohhu ‘ala As-Shohih (Yang lebih shahih atas yang shahih),didahulukan Al-aqwa ‘ala maa huwa qowiy (yang lebih kuat atas yang kuat),didahulukan Al-qowiy ‘ala Adh-dho’if (yang kuat atas yang lebih lemah), didahulukan Ash-Shahih ‘ala al-hasan (yang shahih atas yang hasan).
Berdalil dengan hadist:”Barangsiapa shalat dibelakang imam maka bacaan imam adalah bacaannya (man kaana lahu imam fa qiro-atuhu lahu qiro-ah)
Jawab : Sebagian ulama mengatakan bahwa hadist ini tidak shahih.Sekalipun shahih, maka membaca Al-Fatihah adalah kekhususan yang diperintahkan membacanya.
Berdalil dengan adanya naskh
Al-Jawab : Al-Imam Albani rahimahullah dalam kitab nya yang sangat “hebat”, yakni “Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi shalallahu ‘alaihi wasalam minat takbir ilat taslim ka-annaka taroha” menulis sub bab pada hal 327-364 (Maktabah Al-Ma’arif cetakan tahun 2006) “Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah” (Dihapuskannya hukum membaca dibelakang imam dalam sholat yang dikeraskan bacaannya)
Beliau mengatakan,pada awalnya makmum dibolehkan membaca surat Al-Fatihah dibelakang imam dalam sholat jahr,sebagaimana pernah terjadi pada waktu sholat shubuh.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shlat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:”Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
Di naskh oleh apa? Al-Imam Albani membawakan dalil kedua sebagai penghapus hukum hadist pertama diatas :
“Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]“
Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairoh, akan tetapi dari Az-Zuhri.Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339).Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.
Taruhlan ini hadist yang berterima dan lafadz “intahan naas…”(manusia kemudian berhenti dari membaca dibelakang imam) adalah ucapan Abu Hurairoh,maka alhamdulillah saya temukan Al-Imam Ibnu Utsaimin menjawab pendapat naskh ini,bahwa hal tersebut tidak tepat karena diantara syarat naskh (penghapusan hukum) adalah tidak mungkinnya dilakukan jama’.Padahal sangat mungkin dilakukan jama diantara keseluruhan dalil, yakni bahwa al-fatihah adalah kekhususan dari lafazd-lafadz dalil yang umum.Silahkan mendengarkan kajian beliau ketika membahas Nailul Author Bab Sholat, ,terutama pada nomor kaset 3 side B dan No.2 side B.Juga jangan tinggalkan nomor kaset 1A,1B,2A,4A.Silahkan bisa diunduh kajian beliau di
Saya bawakan dari Al-Ushul min ‘ilmil ushul karya Imam Ibnu Utsaimin tentang syarat naskh ini sebagai berikut:
1.Tidak mungkinnya menjama’ antara dua dalil,jika memungkinkan jama’ maka tidak ada naskh
2.Mengetahui bahwa nasikh (dalil yang menghapus hukum) datangnya paling akhir (dari dalil yang mansukh),baik dengan nash atau khabar dari sahabat atau tarikh
3.Keberadaan nasikh (dalil yang menghapus hukum) disyaratkan oleh jumhur harus lebih kuat dari dalil yang dimansukh atau minimal satu level.Maka dalil yang mutawatir tidak boleh dihapus hukumnya oleh dalil yang ahad.Tetapi yang rajih adalah tidak disyaratkan point ketiga ini.
Ketiga atau minimalnya kedua syarat diatas tidak dipenuhi, dalam berpendapat“Naskh”.Allahu a’lam. Dan juga Imam Albani pun jujur dalam footnote bahwa beliau tidak punya dalil (nash) mana yang datang duluan dan terakhir dari dua dalil diatas yang dikatakan beliau yang satu nasikh dan yang lainnya mansukh.Yang beliau pakai adalah logika bahwa tidak mungkin larangan (an-nahyu) datang lebih awal.InsyaAllah kaidah Imam Ibnu Utsaimin menurut saya lebih tepat yakni tidak bisa diterapkan hukum naskh ini
Sehingga, karena tidak ada dalil untuk mengetahui mana yang datangnya lebih awal atau belakangan dari dua dalil yang nampaknya bisa terjadi nasikh mansukh ini.Kaidah mengatakan :
النسخ لا يثبت بالاحتمال
An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan
Ada yang mengatakan begini :”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairoh“fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”
Lantas, apakah benar tidak mungkin menjama’? Abu Hurairoh memandang tidak demikian ketika ditanya bagaimana tentang makmum yang membaca dibelakang imam sedangkan ada dalil yang mengharuskan diam, Abu Hurairoh menjawab :“Iqro biha yaa farisi fi nafsika”
Berdalil dengan cara berpikir “Apa faidah Imam membaca kalau begitu, jika makmum sibuk membaca Al-Fatihah? atau “Apa gunanya Imam membaca keras?”
Jawaban :Kami katakan in adalah qiyas atau logika yang berhadapan dengan nash,sedangkan
القياس في مقابلة النصِّ مُطَّرَح
Qiyas yang menyelisihi nash harus diabaikan (dibuang)
Berdalil dengan shahihnya tambahan kalimat “fasho’idan” dalam hadist “La sholata liman lam yaqro [fiha] bifatihatil kitab [fasho'idan] (lihat Sifat Sholat Nabi oleh Imam Albani),
Fasho’idan” itu kurang lebih artinya “selebihnya atau tambahan” (tergantung kalimatnya).Sehingga artinya :”Tidak ada sholat bagi yang tidak membaca didalamnya Al-Fatihah dan tambahan selebihnya (maksudnya surat)” Dalam artikel “mukhtashor kalam ibn taimiyah” ini dikatakan bahwa hal ini menunjukkan hadist ini berlaku bagi Imam bukan makmum karena tidak ada yang mengatakan bahwa meninggalkan mendengar secara keseluruhan baik al-fatihah dan surat itu baik serta tidak ada samasekali perintah bagi makmum membaca selain al-fatihah dibelakang imam.
Jawab: Iya, kami sepakat tambahan ini shahih.Dan baiklah taruhlah kami terima pendapat bahwa hadits ini beserta tambahannya khusus bagi Imam.Olehkarenanya anda harus dikatakan “Bagi Imam itu wajib membaca Al-Fatihah dan Surat
Akan tetapi bukankah tambahan surat setelah al-fatihah itu sunnah bukan wajib.Bahkan ketahuilan adalah ijma’ bahwa membaca surat itu tidak wajib. Kalau anda mengatakan bilang wajib,cobalah beri keterangannya!”
Baiklah kita bawakan saja ucapan ulama.Berkata Al-Mundziri :Kemudian ucapan“fasho’idan” dzahirnya menunjukkan wajib membaca tambahan (surat) setelah Al-Fatihah dengan makna akan batal sholat tanpa membaca surat.(Padahal) telah sepakat atau umumnya mereka (ulama) atas tidak wajibnya membaca surat ini.Dan sepertinya mereka membawanya kepada makna “dan tambahan surat” adalah ahsan.Allahu a’lam”
Ada juga yang memaknai maksud “tambahan setelah Al-Fatihah” disini adalah rukun-rukan selain al-fatihah seperti ruku,sujud dan lainnya.
Allahu A’lam
Juga mohon koreksinya.

Abu Umair As-Sundawy

  1. Ahmad berkata

    Admin : Pertanyaan di milis ini kami masukkan ,sebagai tambahan
    Ana baca penjelasan antum ,namun masih ada yang mengganjal di hati…
    Jika ujungnya adalah antum berpendapat bahwa tidak sah shalat bagi mereka yang tidak membaca fatihah, hatta makmum yang berimam, maka apakah
    Ini berarti jika seseorang masbuk dan mendapati imam sudah membaca surat dan sudah selesai, dan ia (imam) hampir ruku, dan kita mengikutinya, itu TIDAK dihitung satu rakaat?
    jika jawabnya dihitung satu rakaat, maka kami tanyakan kembali “bukankah ia tidak membaca fatihah?”,
    jika jawabnya tidak dihitung satu rakaat atau bahkan tidak sah rakaatnya tsb (?), berpindahlah pertanyaan kami kepada “tunjukkan dalilnya bahwa makmum yang masbuk dan tidak sempat membaca fatihah -walau ia masuk ke shaf sambil ruku- TIDAK dihitung satu rakaat…B) ” bahkan yang kami dapati sejauh ini adalah makmum mendapat satu rakat bersama imam jika ia mendapati ruku dengan sempurna, walau masuk shalat sambil ruku (tentunya sudah pasti tidak baca fatihah), sebagaimana yang diamalkan Abu Bakrah, Ibnu Mas’ud (itu saja yang ana tahu sejauh ini)..
    atau masalahnya sudah berbeda lagi, ya?
    Syukran
    Ahmad
    • author berkata

      hadits yg menjelaskan ttg dihitungnya satu rekaat ketika Imam ruku’ adl lemah. Allohu A’lam
  2. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Hasanan Ya Akhy,
    Berdiri (qiyam) dalam sholat hukumnya apa Pak? Jika tidak wajib, mana dalilnya? Jika wajib dan tidak sah tanpa berdiri,maka orang yang langsung ruku dia tidak sempat berdiri toh..piye? jawab dulu ini.
    Saya masih dalam satu barisan dengan antum ,bahwa yang mendapati imam ruku’ telah mendapatkan roka’at.Singkat saja jawabannya, sebagaiamana yang dikatakan Al-Imam Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam fatawa arkanul islam.Ujar beliau,bahwa pada saat seperti itu, maka kewajiban membaca Al-Fatihah menjadi terangkat karena dia tidak mendapatkan tempat untuk membacanya.Sebagaimana orang yang buntung tangannya maka keawajibannya terangkat untuk membasuh tangannya ketika wudhu, tidak perlu membasuh lengan atas yang masih tersisa.
    Hal ini dikuatkan juga oleh Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa Ibn Baz 11/234-244 ,beliau berkata :
    قراءة الاستفتاح سنة وقراءة الفاتحة فرض على المأموم على الصحيح من أقوال أهل العلم ، فإذا خشيت أن تفوت الفاتحة فابدأ بها ومتى ركع الإمام قبل أن تكملها فاركع معه ويسقط عنك باقيها لقول النبي صلى الله عليه وسلم : ( إنما جعل الإمام ليؤتم به ، فلا تختلفوا عليه ، فإذا كبر فكبروا ، وإذا ركع فاركعوا ) متفق عليه
    Membaca doa istiftah adalah sunnah dan membaca Al-fatihah adalah wajib bagi yang sholat dibelakang Imam,berdasar pendapat ulama yang lebih benar.Apabila anda khawatir ketinggalan membaca Al-Fatihah maka mulailah dengan membacanya (tidak perlu membaca doa iftitah). Dan jika Imam ruku sebelum anda selesai membaca al-fatihah maka rukulah bersama Imam dan yang tersisa dari kewajiban membaca Al-Fatihah itu telah terangkat berdasar sabda Nabi :”Imam itu dangkat untuk diikuti,jangan berbeda.Apabila Imam takbir,maka bertakbir.Jika imam ruku, maka ruku’lah …(muttafaqun ‘alaihi)
    Allahu a’lam
    Abu Umair As-Sundawy
  3. Abu Aufa berkata

    Penjelasan Admin :
    Ingat hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah.Rasulullah merasa terganggu oleh bacaan salah seorang makmum.Setelah shalat beliau bertanya : “Benarkah kalian tadi turut membaca bersama imam?” Kami menjawab:”Ya, tetapi dengan cepat,wahai Rasulullah” Beliau bersabda:“Kalian tidak boleh melakukannya kecuali [membaca] Al-Fatihah,karena tidak sah sholat seseorang jika tidak membacanya dalam sholat”
    Pertanyaan saya :
    Akh, ana menemukan hadits yang semakna atau bisa dibilang sama matannya dengan hadits diatas akan tetapi bukan riwayat Imam Bukhari tapi riwayat Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, Imam Tirmidzi berikut haditsnya :
    Berkata Imam Abu Dawud (Hadits No 823) : Haddatsana : Abdullah bin Muhammad An Nufailiy Haddatsna : Muhammad bin Salamah an Muhammad bin Ishaq an Mak-hul an Mahmud bin Rabi’ an Ubadah bin Shaamit ia berkata : Kami pernah sholat fajar (shubuh) dibelakang Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam. kemudian Rasulullah Sholallahu Alaihi Wa Sallam membaca, lalu menjadi berat bacaan tersebut atas beliau. maka sesudah selesai (Sholat) beliau bertanya : ” Barangkali kamu membaca dibelakang imam kamu ?” Jawab kami, ” Betul ! dengan cepat-cepat ya Rasulullah.” beliau bersabda , ” Janganlah kamu lakukan kecuali (membaca) surat Al Fatihah, karena sesungguhnya tidak sah sholat bagi orang yang tidak membacanya.”
    Di Sanad hadits ini ada dua orang Mudallis yang melakukan ‘an’anah yaitu :
    1. Muhammad bin Ishaq bin Yasar, seorang yang benar ( Taqribut Tahdzib 2/144)
    2. Mak-hul Asy Syaamy (orang Syam), seorang rawi yang Tsiqah (Mizaanul I’tidal 4/177,178)
    Karena ada dua orang Mudallis yang melakukan ‘An’Anah, maka riwayat Abu Dawud diatas dinamakan hadits mudallas yang termasuk kedalam bagian hadits Dhoif.
    Penjelasan diatas ana baca di buku Pengantar Ilmu Mustholahul Hadits milik Al Ustadz Abdul Hakim Abdat..
    Apakah bisa disebutkan secara lengkap riwayat Imam Bukharinya dan bagaimana dengan penjelasan Ustadz Abdul Hakim diatas ? mohon dijelaskan.. Jazaakallahu Khoiron..
  4. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Jalurnya kurang lebih sama nampaknya dari Mak-hul an Mahmud bin Rabi’ an Ubadah bin Shaamit.Tapi ada jalurlain kalau tidak salah.Dikeluarkan oleh beberapa imam ahlil hadist.InsyaAllah saya akan cek, dan bandingkan komentar Al-Ustadz Abdul Hakim hafidzahullah tersebut dengan Imam Al-Albani rahimahullah, karena beliau membawakan hadist ini dalam Sifat Sholat.
    Sekedar tambahan bahwa hadist ini dikeluarkan Al-Imam Bukhari dalam juz al-qiroah nya .Dinyatakan sahih oleh Al-Imam Ibnu Baz dalam fatawanya (11/221).Al-hafidz Ibnu Hajar mengatakan isnadnya hasan.
    Allahu a’lam.Syukran atas komentarnya
    Abu Umair As-Sundawy
  5. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Pak Abu Aufa silahkan membaca di Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi mulai hal 327-331.(maktabah Al-Ma’arif 2006) oleh Syaikh Albani , bisa didunlod di wqfeya.com.Dalam Notakaki bab Naskhul qiro-ah waro-al imam fil jahriyah
    Agak panjang, saya belum sempat menuliskannya, tapi cuplikannya demikian:
    Hadza hadistsun shohih (ini adalah hadist yang shahih).Dikeluarkan oleh Bukhari (Juz’ul Qiroah (7&22),Abu Daud (1/131)Tirmidzi(2/116-117),At-Thahawi(1/127),Ad-Daruquthni(120),Al-Hakim(1/237),At-Thabrani dalam As-Shoghir(134),Al-Baihaqi(2/164)Ahmad(5/313,316,322),Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (3/236) dari jalan Muhammad bin Ishaq dari Makhul dari Mahmud bin Ar-Rabi’ dari Ubadah bin Shamit.
    Isnadnya jayyid (baik) tidak ada celaan padanya sebagaiman dikatakan Al-Khothobi dalam Al-Ma’alim (1/205).Ibnu Ishaq menjelaskannya dengan “tahdist” pada riwayat Ahmad.Dan Ad-Daruquthni berkata (Isnadnya hasan).Albaihaqi meng i’lal nya.Dan At-Tirmidzi berkata “Hadist hasan”.Dan Alhaqim berkata “Isnadnya mustaqim (lurus)”.Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “Nataijul afkar fi takhrij ahadistul adzkar” : Ini adalah hadist hasan”.Demikian juga Imam An-Nawawi dalam al-majmu’(3/363) dan Tahdzibul Asma’ (2/170) : “Hadist shoheh”
    Silakan bisa dibaca selengkapnya…………..
    Kesimpulan Syaikh :”Wabil jumlah ,fal hadist shohihun bi majmu’ hadza at-thuruq,hasanun min thoriq ibni ishaq,wadhthirob man tabi’ahu fihi la yadhurru fi riwayatihi” (Secara keseluruhan ini,maka hadist ini shohih atas-jalur-jalur ini,Hasan dari jalan ibnu ishaq,dan kegoncangan yang menyertainya tidak membahayakan dalam riwayatnya)
    Allahu a’lam.Silahkan koreksi.
    Abu Umair As-Sundawy
    Note: Justru yang menarik adalah argumen dan pendapat Syaikh setelah membahas keabsahan hadist ini,bahwa hadist ini tidak bermakna wajib tapi ibahah.Coba rujuk kesana,sangat menarik.
  6. Abu Aufa berkata

    Terus terang ana masih bingung akh mensikapi perbedaan pendapat diantara para ulama dan ahli ilmu dalam hal tashih dan tadh’if sebuah hadits.. apakah kaidah Al Jarh Muqoddamun ‘Ala Ta’dil atau Al Jarh Mufassar Muqoddamun ‘Ala Ta’dil Aam bisa digunakan untuk setiap perbedaan atau bagaimana.??. sebenarnya ingin sekali ana membaca kitab syaikh Albani Al-Ashlu Sifat Sholat Nabi akan tetapi ana belum bisa berbahasa arab akh..
    Jikalau hadits hadist Bukhari tentang kejadian shalat subuh Rasulullah adalah shahih maka ana kira pendapat antum adalah pendapat yang kuat karena dalam hadits tersebut jelas bisa ditangkap Wajibnya membaca Al Fatihah dalam sholat Jahriyyah. akan tetapi dari yang antum bilang walaupun Syaikh Albani menshahihkan hadits ini akan tetapi beliau menjelaskan bahwa hadits tersebut tidak menunjukkan wajibnya Al Fatihah akan tetapi hanya ibahah saja, bisakah antum jelaskan secara ringkas mengapa Syaikh Albani berpendapat seperti itu ??
  7. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Pak Abu Aufa, tentang kebingungan antum dalam masalah tashih wa tadh’if, maka ini menjadi kendala bersama umumnya kita.Karena sangat minim orang yang bisa mapan dalam bidang ini,kecuali dengan kesungguhan belajar yang tak kenal lelah.Jika memang tidak punya kemampuan untuk mempelajari sanad,maka tidak mengapa untuk taqlid kepada ahli di bidang ini dengan tetap memperhatikan semua argumennya.
    Adapun tentang wajib dan ibahah dijelaskan cukup panjang oleh Al-Imam Albani dalam footnotenya.Saya coba tuliskan sedikit,ini baru dari sisi argumen beliau.Saya belum menuliskan tulisan yang menta’qib pendapat ini.
    Kata beliau, hadist ini justru sebenarnya menunjukkan larangan membaca dibelakang imam, tetapi untuk al-fatihah maka diperbolehkan.Karena dalam kutub ushul dikatakan :”Annal ististna min hukmin yadullu ‘ala naqidhihi fahasab,wala dilalah lahu ‘ala ziyadah hukmin” atau “annal ististna ba’da an-nahyi la yufidu al-wujub war rukniyah,wa innama yufidu al-ibahah….” Sedikit contoh yang dibawakan Syaikh demikian misalnya perintah kepada anak dibawah umur 7 tahun:”Sholatlah kamu,sesungguhnya tidak ada agama bagi yang tidak sholat”,padahal ijma mengatakan tidak wajib sholat untuk umur dibawah 7,hanya saja ucapan “sesunguhnya tidak ada agama bagi yang tidak sholat”,menujukkan penjelasan sifat sholat pada hakikat asalnya. (Keluasannya yang sangat sarat faidah, silahkan dirujuk langsung kebuku aslinya,disana ada contoh ayat-ayat dengan keserupaan teks seperti ini).Maaf saya belum bisa menuliskan utuh karena keterbatasan waktu.
    Abu Umair As-Sundawy
  8. Heri Setiawan berkata

    kalau ada kasus, bacaan alfatihah imam ndak benar dalam hal mahraj huruf dan panjang pendek bacaan salah, itu gimana..? wajibkah kita mengganti bacaan alfatihah untuk melengkapi rukun sholat..?
  9. Habib Amaluddin berkata

    Kalau benar bacaan Al Fatihah wajib bagi ma’mum, baik pada sholat jahriyah maupun sirriyyah, kapan ma’mum membacanya saat sholat jahriyyah?
    Ana juga masih bertanya-tanya apa faidah dari imam membaca dijahrkan kalau ma’mum membaca Al Fatihah sendiri-sendiri. Bukankah cukup mengaminkan bacaan Al Fatihah imam.
  10. ibnu Muhtadi berkata

    @ Akhi Heri
    berkaitan dengan imam yang tidak menyempurnakan rukun dalam shalat:
    makmum diperbolehkan memisahkan diri dari imam yang tidak membaca makhraj huruf atau tajwid tersebut (yakni bacaannya merubah makna dari bacaan al Fatihah). dalilnya adalah tentang sahabat kecil yang memisahkan diri dari mu’adz bin Jabbal radlillahu’anhuma saat membaca shalat dengan bacaan yang terlalu panjang. maka tidak disempurnakannya rukun (karena membaca al fatihah adalah rukun dalam shalat) adalah lebih boleh lagi bgi si makmum untuk memisahkan diri dari si imam.
    seingat ini adalah fatwa Syeikh Ibnu Utsaimin, hanya saja lupa bentuk pertanyaaannya apakah imam yang tidak tuma’ninah atau tidak membaca Al Fatihah dengan benar.
    Wallahu A’lam
  11. Elvin Ikhsan berkata

    Penulis mengatakan diawal tulisan bahwa pendapat mengenai masalah ini terbagi 3 dan bahkan telah dimulai semenjak jaman para shahabat, yaitu:
    1. Wajib diam (Ibnu Taimiyah, Abu Darda, Imam Malik, dan lainnya)
    2. Wajib membaca (Umar bin Khattab, Ubadah bin Shamit, Abdullah bin Amr bin ‘Ash, Abu Hurairah, Imam Syafi’i dan lainnya.)
    3. Tidak wajib membaca baik jahriyah maupun sirriyah (Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, Jabir bin Abdillah, Sa’ad bin Abi Waqqash).
    Dalam hal ini penulis menguatkan pendapat ke-dua. Maka konsekwensi pendapat kedua ini adalah bahwa “mereka” (shahabat nabi, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud) yang memilih diam (tidak wajib membaca Al-Fatihah pada shalat jama’ah jahar) maka shalat jama’ah mereka selama ini tidaklah sah baik shalat mereka ketika di imami Nabi ataupun ketika di imami oleh Amirul Mukminin setelah Nabi sesuai dengan keumuman Hadits Nabi “Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah”.
    Pertanyaan saya:
    1. Siapakah dirinya yang mengaku lebih alim dari shahabat Nabi sehingga berani mengatakan tidak sah shalat mereka (para shahabat) apabila mereka diam ketika imam membaca Al-fatihah)??
    2. Apakah selama itu Nabi tidak mengetahui bahwa beberapa shahabat Nabi (pendapat ketiga) shalat dibelakang beliau tidak membaca Al-fatihah? Dan apabila Nabi mengetahui mengapa Nabi tidak memarahi mereka karena telah melanggar “”Tidak ada shalat bagi yang tidak membaca surat Al-Fatihah”.?? Bukankah ini berarti ada kekhusuan dalam hal ini yaitu dalam shalat Jama’ah terutama Jahar tidaklah diwajibkan??
    3. Telah mafhum bahwasanya beberapa shahabat telah dijamin dengan sorga. Diantara mereka yang dijamin tentulah ada yang berpendapat diam dibelakang imam, lalu bagaimana mereka bisa dijamin sorga apabila selama ini shalat jamaah mereka tidak sah (menurut pendapat kedua)?? Dan para shahabat hampir selalu shalat wajib berjamaah sepanjang hidup mereka sebagai muslim.
    4. Permasalahan sholat ini adalah permasalah yang sangat penting akan tetapi mengapa Umar bin Khattab (pendapat kedua) hanya mendiamkan saja Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud yang mengambil pendapat ketiga (menurut tulisan penulis) padahal mengandung resiko tidak sahnya shalat mereka dan orang-orang yang mengikuti mereka?? Apakah Umar bin Khattab yang tidak mengerti nash-nash ataukah Ali bin Abi Thalib yang tidak paham??
    5. Tidak cukupkah bagi kita “in qoro’ta falaka salaf, wa in sakatta falaka salaf” (jika engkau membaca maka anda punya pendahulu,demikian juga bila anda diam)?
    Wassalam.
    Elvin Ikhsan
    • herbono utomo berkata

      Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
      Pak ustadz Abu Umair As-Sundawy
      Saya sangat setuju dgn pendapat sdr. Elvin Ikhsan: Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib dan yg lainnya berbeda pendapat ttg wajib atau tidaknya membaca Alfatihah pada rakaat jahar. Mereka adalah org2 yg dijamin masuk surga dan Rasulullah tdk menyalahkan mereka. Kita membaca al-Fatihah atau tidak, karena kita berguru kepada mereka!!!…
      Saya juga setuju dgn pendapat Abu Faris, jika ijtihad ulama yg kita ikuti benar maka kita mendapat 2 pahala. Jika salah, maka kita mendapat 1 pahala. Semoga Allah subhanahu wa ta’la selalu membimbing kita ke jalan yang lurus, aamiin ya Rabbal alamin.
  12. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh,
    Al-Akh Elvin Ikhsan,
    1.Adakah ulama yang berpendapat akan wajibnya membaca al-fatihah berkonklusi seperti kesimpulan antum bahwa sahabat yang diam tidak membaca al-fatihah maka shalat mereka batal.Tunjukkan kepada kami akan nukilan pendapat ini, fal yatafadhdhol masykuro!
    Kalaulah demikian,maka amatlah mudah bagi kita untuk mendakwa bahwa antum juga “menuduh” segenap ulama yang berbaris rapi akan pendapat wajibnya membaca dibelakakang imam bahwa mereka menuduh para sahabat tidak sah shalatnya.
    2.Selebihnya dari point antum yang disebutkan, itulah permasalahan fiqih yang tidak melulu berujung pada satu barisan dan berkonklusi saklek “if-then” (jika demikian pasti demikian).Yuk sama-sama menghisap aroma fiqih dari sekian banyak contoh kasus:p
    3.Ada beberapa artikel terkait yang saya ingat akan topik ini,silahkan dikunjungi :
    1. Konsultasi Ustadz: Dalil Makmum Membaca Al Fatihah Setelah Imam:
    http://muslim.or.id/2007/05/04/konsultasi-ustadz-dalil-makmum-membaca-al-fatihah-setelah-imam/
    Allahu a’lam.
    Abu Umair As-Sundawy
  13. Elvin Ikhsan berkata

    Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh,
    Akhi Abu Umair As-Sundawy,
    Harus saya akui bahwa saya telah mengambil kesimpulan terlalu jauh tanpa disertai ilmu, saya bertobat akan hal ini. Terima kasih atas penjelasan antum. Akhlak antum dalam menjelaskan hal ini sangat baik sekali.
    Akan tetapi mengenai permasalahan ini saya tetap tsiqah kepada barisan ulama yang menguatkan pendapat tidak wajib membaca Al-Fatihah dalam shalat jahriyyah, tentunya dengan penjelasan mereka yang tidak perlu saya lampirkan disini karena terlalu panjang. Dan saya kira antum tentu sudah mempelajari pendapat ini.
    Jazzakalloh Khoiron Katsiro
    Wassalamu’alaikum warohmatulllohi wabarokatuh
    Elvin Ikhsan
  14. Abu Faris an-Nuri berkata

    Sekedar memberi komentar ringan atas tulisan al-Akh al-Fadhil Abu Umair di atas…
    Fiqh tetaplah mengikuti kaidah ‘if-then’. Hanya saja, terkadang tidak timbul ‘than’ padahal ada ‘if’ karena di sana ada yg disebut dg ‘wujud al-mawani’ wa ‘adam istifa` asy-syurut’ (terdapat penghalang dan atau tidak terpenuhinya persyaratan). Demikian pula dg sebagian permasalahan yang diklaim sebagai exception atau keluar dari kaidah tertentu, padahal ternyata hal itu disebabkan ia masuk pada range kaidah yang lain.
    Ok, singkat kata, bagaimana implementasinya dalam kasus di atas? Mereka yang berpendapat tentang wajibnya membaca al-Fatihah baik dalam shalat jahr maupun sirr tidak dapat memastikan bahwa orang yang berseberangan dg mereka tidak sah shalatnya, karena mereka pun ber-ijtihad dan ber-istinbath dari dalil2 yg ada, sedangkan ijtihad jika salah bernilai satu pahala dan jika benar bernilai dua pahala. Demikianlah ringkasnya, mudah2an dapat dipahami ^_^
    NB
    Saya sendiri belum mencoba melakukan ‘tarjih’ dalam masalah ini. Namun, pernah saya sampaikan dalam salah satu momen bahwa membaca al-Fatihah merupakan perkara yang ‘ahwath’ (paling hati2/selamat; jangan dibaca akhwat loh ^_^), jika Anda membaca al-Fatihah, maka shalat Anda tetap sah menurut dua pendapat yg berseberangan tersebut. Namun jika Anda tidak membaca al-Fatihah maka shalat Anda tidak sah menurut konsekuensi salah satu pendapat. Bukankah demikian? ^_^ Ini jika Anda bingung dalam memilih satu dari dua pendapat yang ada. Namun, jika Anda merasa tenteram terhadap salah satu pendapat dan meyakini kebenarannya, maka itulah yang Anda amalkan.
    Wallahu a’lam bish shawab
  15. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Ana pribadi menguatkan sebagaimana apa yang ditulis oleh akh Abu ‘Umair. Idem ma Abu Faris; Syaikh Bin Baaz pernah mengatakan hal yang serupa. Beliau menguatkan pendapat diwajibkannya membaca Al-Fatihah. Namun di sisi lain beliau memberikan penjelasan bahwa jika ada orang yang tidak membaca Al-Fatihah, maka shalatnya tetap sah. Allaahu a’lam. Komentar ini lebih ringan lagi dari apa yang ditulis akh Abu Faris……… Ya partisipasi saja lah.
  16. abah zacky berkata

    Assalamu’alaikum wr. wb
    Sebelumnya saya mohon maaf, ketika membaca keterangan tentang hadis man adraka rak’atan … di dalam syarh Abu Dawud, Aunul Ma’bud, disebutkan bahwa maksudnya adalah mendapatkan satu rekaat lengkap, bukan mendapatkan ruku’. Satu rekaat lengkap dimulai dari takbiratul ihram, berdiri membaca surat (termasuk al-fatihah) ruku’ dan seterusnya sampai berdiri lagi. Kalau Imam sudah ruku’ dan belum bangun lalu seorang makmum datang, ia kehilangan beberapa rukun shalat bersama imam. Kalau menurut Syaikh Shalih al-Munajjid, dalam buku terjemahan yang berjudul Fiqih Darurat, dikatakan bahwa seseorang yang tertinggal dua rukun maka jama’ahnya tidak sah. Artinya, rekaat itu tidak dihitung sebagai satu rekaat.
    Maaf, saya tidak sempat mengecek halaman per halaman, karena ini hanya seingat saja. Kalau pingin tahu silakan cek sendiri. :)
    abahzacky.wordpress.com
  17. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Wa’alaikumsalam warahmatullah wb.
    Abah Zacky,
    Sejujurnya saat belakangan ini ketika sedang membaca-baca lagi,saya agak selintas cenderung menguatkan perkataan antum, yakni seseorang masbuq tidak mendapati rokaat ketika mendapati imam ruku’.Tapi ini masih dalam baca-baca selintas belum didalami lebih lanjut.Yah lain kali coba kita bahas
    Abu Umair As-Sundawy
  18. Abu Shalih berkata

    Akhi Abu Umair, dalam beberapa waktu terakhir ini ana menelaah permasalahan ini, dan ana memiliki kecenderungan yang sama dengan antum bahwa bacaan Alfatihah adalah tetap wajib saat qirooah jahriyyah.
    Ada sedikit poin yang mungkin bisa membantu menyokong penjelasan antum:
    ana cop-past beberapa tulisan antum :
    ======
    “Adakah seseorang diantara kalian tadi membaca Al-Quran bersamaan dengan aku membaca?” Seseorang menjawab:”Ya,saya, wahai Rasulullah.” Rasulullah mengatakan :”Aku katakan kepadamu mengapa aku diganggu (sehingga bacaanku terganggu)?”Abu Hurairah berkata :Kemudian para sahabat berhenti membaca al-Quran bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam membacanya dengan suara keras dan bacaan itu mereka dengar [dan mereka membaca sendiri tanpa suara bila imam tidak mengeraskan bacaannya]”
    Hadist ini bermasalah akan keshahihannya dan juga pada ucapan Abu Hurairah.Sebagian ulama mengatakan bahwa lafadz tersebut bukan dari Abu Hurairoh, akan tetapi dari Az-Zuhri.Diantaranya yang berpendapat demikian adalah Al-Imam Al-Bukhari.Seandainya benar itu lafadz Az-Zuhri maka hukum hadist ini mursal munqothi’ karena Az-Zuhri seorang tabi’in sehingga tidak boleh berhujjah dengan dalil ini (ini pandangan Imam Albani sendiri pada hal.339).Dan juga, Abu Hurairoh dengan lafadz tegas dalam riwayat Muslim, menyatakan bahwa dalam sholat jahar pun makmum tetap membaca Al-Fatihah.
    ===========
    Abu Shalih :
    Lafadz :
    “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam”
    di antara ulama yang menyatakan bahwa ini adalah idroj (sisipan) dari azzuhri adalah : Al Imam Al bukhari dalam tarikhnya, Abu Dawud, Ya’qub bin yusuf, Adzdzihli, ALkhataby dan selainnya.
    Bahkan imam An Nawawi berkata : “ini adalah persoalan yang tidak diperselisihkan dikalangan mereka”
    sisipan ini disebutkan pada riwayat Ahmad (II/240).
    pernyataan para imam ini semakin kuat untuk membatalkan dakwaan naskh pada keumuman perintah membaca Alfatihah.
    dan
    ======
    An-Naskh tidak tsubut jika adanya kemungkinan
    Ada yang mengatakan begini :”Siapa yang mendakwa bahwa Hadist Abu Hurairoh “fa intahannaas ‘anil qiroah fima yajharu fihi An-Nabiyyu shalallahu ‘alaihi wasalam” (Maka berhentilah para sahabat dari membaca pada sholat yang mana Rasulullah mengeraskan bacaannya) adalah menghapuskan dalil tentang membacanya sahabat dalam sholat shubuh maka Al-Hazimi dalam kitab Al-I’tibar (Hal 72-75) mendakwa kebalikannya yakni menjadikan dalil-dalil kewajiban membaca Al-Fatihah menghapuskan dalil-dalil larangan membaca dibelakang imam”
    =========
    dakwaan kebalikan ini (naskh terhadap dalil2 yang mengandung larangan) pun juga rasanya tidak memiliki landasan dalil yang kuat, so jalan yang terbaik adalah dikembalikan kepada kaidah jama’ dan tarjih.
    penjelasan di atas dapat ditelaah di shahih fiqhsunnah wa adillatuhu wa taudhihu madzhab al aimmah.
    Salam
    Abu Shalih

    Petikan asal daripada salafyitb

Assalamu’alaikum atau Assalamu’alaika..?

Penyusun : Abu Shalih Hartoyo
Assalamu’alaikum Warahmatullah…
Alhamdulillah millis ini semakin semarak, dan sangat terasa akan faidah-faidah yang bisa dipetik. Semoga millis ini dapat terus memberikan manfaat, khususnya ana pribadi, meningkatkan keistiqomahan, ukhuwah…ilmu, amal…dan dakwah..betapa dunia maya adalah dunia yang penuh ranjau mematikan jika kita tak hati-hati dalam melangkah dan berselancar…(bisa kemelep .. :p)
Dalam kesempatan ini, ana ingin berbagi faidah dari sedikit yang ana tahu tentang salam kepada orang tunggal. Apakah yang diucapkan “assalamu’alaika’dhomir tunggal (ka) atau “Assalamu’alaikum”..(dhomir jama’) ?
yang nampak dari riwayat-riwayat yang datang baik dari Nabi ‘alaihisholatu wasallam maupun atsar para sahabat, adalah mereka tetap menggunakan dhomir tunggal “Ka” , Assalamu’alaika, dan bukan Assalamu’alaikum
Berikut beberapa riwayat-riwayatnya:
(1)
Jabir bin Muslim berkata :
Saya melihat seseorang yang manusia selalu bersandar kepada pendapatnya, tidaklah ia mengatakan sesuatu kecuali mereka akan bersandar kepadanya. Saya berkata: siapa ini ? maka mereka berkata: ini adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam , maka saya berkata :
“Alaikassalam wahai rasulullah…”sebanyak 2 kali.
Maka beliau berkata :
Janganlah engkau berkata ‘alaikassalam, tetapi katakanlah Assalamu’alaika
sesungguhnya ‘Alaikassalam adalah penghormatan kepada mayit. Ia berkata : Saya berkata : engkau rasullah sallallahu ‘alaihi wasallam ? beliau berkata : saya adalah Rasulullah yang jika mengenai padamu suatu keburukan, kemudian aku berdoa niscaya Ia akan menyembuhkannya darimu, dan apabila menimpa kepadamu kemarau setahun, niscaya Ia akan menumbuhkannya (bumi) untukmu…
Riwayat Abu Dawud, 4084. Syeikh AL Albani berkata : Shahih…

(2)
Salam para sahabat kepada Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam sholatnya ketika beliau masih hidup :
Mengabarkan kepada kami Syaqiq bin ‘Abdillah ia berkata:
Dulu, bila kami shalat bersama Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, kami berkata
Assalamu’alallah sebelum para hamba-Nya. : Assalamu ‘ala jibril, Assalamu ‘ala mika’il, Assalamu ala fulan…, Assalamu ‘ala fulan…”
Ketika Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berbalik wajah kearah kami, beliau bersabda :
“Sesungguhnya Allahlah Assalam (maha pemberi kesalamatan), bila kalian duduk dalam shalat, maka katakanlah :
Attahiyatu lillah, wa sholatu wathoyyibatu, Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullah…
(Shahih Al Bukhari, 5876),
(3)
Salam para malaikat kepada Adam, ‘Alaihissalam
Allah menciptakan Adam, dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian Allah berkata : “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu” kemudian Adam berkata : Assalamu’alaikum, maka para malaikat menjawab : “assalamu’alaika warahmatullah”
Shahih Bukhari, 5873 dalam riwayat lain, Nabi berkata : maka para mala’ikat pun menambah salamnya dengan warahmatullah…(Shahih Muslim, 2841)
Para malaikat tetap menggunakan dhomir (kata ganti) ka ketika menjawab salam Adam dan tidak kum.
(4)
Atsar dari sahabat:
Bahwasannya Ibnu ‘Umar radliallahu’anhuma apabila bertahiyat (mengucapkan penghormatan) kepada Anak ja’far (bin abdul muthollib), Ia berkata ;Assalamu’alaika wahai anak pemilik dua sayap…
(Shahih Al Bukhari 4016), Ibnu ‘Umar radliallahu’anhuma adalah orang yang mendekap tubuh Ja’far ibn ‘Abdil Muthollub ketika kedua tangannya putus pada peperangan mu’tah karena mempertahankan bendera perang..
(5)
Demikian pula ketika Ibnu Umar radliallahu’anhuma memberikan salam kepada Abdullah bin Zubair radliallahu’anhuma : Assalamu’alaika ya Aba khubaib.. Assalamu’alaika ya Aba Khubaib…(Shahih Muslim, 229)
(6)
Salam Abu dzar Radliallahu’anhu ketika pertama bertemu dengan nabi sallallahu ‘alaihi wasallam :
Saya adalah orang yang pertama kali melakukan tahiyyah (penghormatan) kepada Nabi dengan tahiyyah islam. Ia berkata : saya berkata “Assalamu’alaika ya Rasulullah..”
Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “wa’alaika warahmatullah…”
Beliau berkata : “siapa engkau..?” Abu dzar menjawab :” saya dari Ghifar…”
(Shahih Muslim, 132)
Dalam riwayat muslim yang lain, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam menjawabnya (salam Abu Dzar) dengan : “ Wa’alaikassalam..”
Berkata Al Imam Nawawi rahimahullah rahmatan wasi’ah dalam kitabnya yang indah, Riyadhusholihin…
Disukai/disunnahkan bagi orang yang memulai salam : Assalamu’alaikum Warahmatullah wabarakatuh, dengan menggunakan dhomir (kata ganti) jama’ (kum) meski yang diberi salam hanya satu… kemudian beliau membawakan Hadits ‘Imron bin Hushoin
(Riyadhusholihin Bab Kayfiatussalam..)
Menanggapi hal ini, Syeikh Muhammad bin Shölih Al ‘Utsaimin berkata dalam Syarh Riyadhussholihin…
Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
Asshohih..(Yang benar) adalah : Assalamu’alaika (dhomir tunggal-pen). Demikianlah yang tsabit dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits Al musii’u fisholah (yang sholatnya salah), ia berkata : Assalamu’alaika..
Adapun istidlal muallif (Al Imam An Nawwi) dari hadits ‘Imron tidak ada dilalah (penunjukkan) didalamnya, hal ini dikarenakan laki-laki yang datang kepada Nabi adalah, bersama nabi terdapat jama’ah yang lain maka ia pun salam kepada seluruhnya, maka bila kepada orang banyak dengan menggunakanAssalamu’alaikum sedangkan kepada satu orang dengan Assalamu’alaika. Bila kamu menambahnya dengan warahmatullah maka itu adalah lebih baik…(syarhu riyadhussholihin bab kayfiatussalam)
Tambahan Faidah dalam Menjawab Salam
Syeikh Al ‘Utsaimin kembali berkata:
Berkata imam An Nawawi: Disukai dengan menggunakan “Wa” (wa’alaikum salamatau lebih lengkap-pen)…(ketika menjawab salam) dengan tambahan wawu (tidak sekedar ‘alaikum atau ‘alaika).
Syeikh Utsaimin berkata: Ini adalah baik, karena apabila dengan tambahan wawu maka akan menjadi jelas bahwa ia bersambung dengan kalimat yang digunakan oleh orang yang memberi salam pertama kali. Tetapi apabila tidak menggunakannya (wawu) maka tidak mengapa. Karena Ibrahim –‘alaihissalam-tidak menggunakan wawu ketika menjawab salam para malaikat

(فقالوا سلاما قال سلام)

(Adzdzariyat : 25)
Para malaikat berkata : saläma, ibrahim menjawab : saläm…
Taqdir dari salam malaikat adalah : sallamna salaaman
Sedangkan Nabi ibrahim : ‘Alaikum salam… dengan tanpa wawu.
Salam nabi ibrahim ini lebih baik dari salam para malaikat, salam para malaikat menggunakan bentuk kalimat fi’liyah (kerja) sedangkan jawaban salam dari ibrahim menggunakan jumlah ismiyyah yang menunjukkan ketetapan (tsubut) dan dawam (Al Itqon, lishuyuti dan Al Burhan fi ‘ulumil Quran lil imam Azzarkasyi), dan ini selaras dengan adab menjawab salam : lebih baik atau sama…(faidza huyiyytum bitahiyyatin farudduha biahsana minha aw rudduha….)
Beberapa kesimpulan dan faidah yang bisa dipetik :
Sunnah nabi, malaikat, dan para shohabat ketika salam adalah mereka tetap menggunakan dhomir (kata ganti) bersesuaian dengan yang diberi salam, kepada orang tunggal laki-laki dengan Assalamu’alaika, wanita dengan assalamu’alaiki dan seterusnya..
Boleh menjawab salam dengan wawu atau tanpa wawu, namun yang lebih baik adalah dengan wawu, sebagai penegasan sambung terhadap kalimat kalimat pemberi salam yang awal..
Kita dilarang untuk memulai mengucapkan salam kepada orang yang masih hidup dengan ‘Alaikassalam, namun boleh menggunakannya sebagai jawaban-karena dia adalah athof /sambungan.
Wallahusubhanahu A’lam…
Maraji’ (maktaba shameela, syarh riyadhusholihin Syeikh Al’utsaimin)

  1. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Bagaimana dengan riwayat ini yang menunjukkan pengucapan dengan dlamir “kum” untuk orang yang tunggal :
    Dari Kildah bin Hanbal radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
    …..فدخلت ولم أسلم فقال ارجع فقل السلام عليكم…….
    “Aku masuk ke rumah beliau namun tidak mengucapkan salam, maka beliau bersabda : “Kembalilah, dan ucapkanlah : Assalamu’alaikum” (HR. Abu Dawud no. 5176)
    عن عمران بن حصين قال جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال السلام عليكم فرد عليه السلام ثم جلس فقال النبي صلى الله عليه وسلم عشر ثم جاء آخر فقال السلام عليكم ورحمة الله فرد عليه فجلس فقال عشرون ثم جاء آخر فقال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فرد عليه فجلس فقال ثلاثون
    Dari Imran bin Hushain radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seseorang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum, maka Rasul menjawabnya, dan beliau bersabda : Sepuluh. Kemudian datang lagi orang lain dan mengucapkan Assalaamu ‘alaikum warahmatullaah. Maka Rasulullah menjawabnya dan orang itu duduk. Maka Rasulullah bersabda : Dua Puluh. Kemudian datang lagi orang ketiga seraya mengucapkan : Assalaamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh. Maka beliau menjawab, lalu orang tadi duduk. Rasulullah bersabda : Tiga Puluh”. (HR. Abu Dawud no. 5195; dihasankan oleh Tirmidzi).
    dan yang lainnya…..
  2. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Sebenarnya apa yang disampaikan Al-Akh Abu AlJauzaa sudah terjawab oleh pendapat Syaikh Utsaimin rahimahullah yang disampaikan Al-Akh Abu Shalih dalam tulisannya.Yakni mengenai hadist Imran bin Husain yang dijadikan dalil oleh Al-Imam An-Nawawy rahimahullah yang berkesimpulan:
    اعلم أن الأفضل أن يقول المُسَلِّم : السَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، فيأتي بضمير الجمع وإن كان المسلَّم عليه واحداً ، ويقولُ المجيب : وَعَلَيْكُمُ السَّلامُ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَركاتُه
    (Imam Nawawi : Ketahuilah bawa yang afdhol adalah mengucapkan Assalamu’laikum warahmatullah wabarakatuh, dengan dhomir jamak meskipun orang muslimnya satu orang…………)
    Inipun sudah dijawab oleh Syaikh Utsaimin.
    Adapun tentang memberikan salam ketika memasuki dirumah pun, perlu diteliti juga, apakah memang beliau sendiri atau ada keluarganya juga :p
    Sekedar tambahan saja:Jangankan yang jelas ada penghuninya, rumah/kamar kita yang jelas kosong ketika kita memasukinya tetap mengucapkan salam.Berdasar dalil “Fa idzaa dakholtum buyutan fasallimu ‘ala anfusikum tahiyyatan min ‘indillah mubarokatan thoyyibatan” (silahkan lihat Al-Adzkar).
    Dikatakan beberapa mufassir, bahwa arti “fasallimuu ‘ala anfusikum” maknanya seperti ungkapan “walaaa taqtuluu anfusakum” (jangan kau bunuh dirimu (-juga orang lain-).Olehkarenanya “‘ala anfusikum” dimaknai (untuk dirimu-juga yang lain-).Syuf tafsir Imam Qurthubi
    Wassalam,
    Abu Umair As-Sundawy
    (Saya juga belum banyak tahu, tentang masalah dhomir ini, sehingga belum bisa memberikan komentar :p)
  3. Abu Shalih berkata

    Pernah juga membaca penjelasan dalam kitab Taudhihul Ahkam, bab apa ya, lupa
    Bahwa ketika kita masuk ke dalam rumah, maka di antara kayfiyah salam yang dapat digunakan adalah :
    Assalamu ‘Alayya Wa ‘ala ibadillahisholihiin….
    untuk mutakallim dan juga bangsa Jin yang mereka juga menghuni dalam rumah…
    Wallahu A’lam…
  4. Abu Shalih berkata

    Oya maksudnya adalah bila diyakini ketika masuk tidak ada orang yang ada di dalam rumah, maka salam tetap disyariatkan. tahiyatan lakum…
  5. Abu Umair As-Sundawy berkata

    Tambahan komentar Abu Shalih,
    Antum bisa temukan dalam tafsir Ibn Katsir disebutkan disana tentang riwayat “Assalamu ‘Alayya Wa ‘ala ibadillahisholihiin”
    Disebutkan oleh beliau rahimahullah :
    وقال مجاهد : إذا دخلت المسجد فقل : السلام على رسول الله ، وإذا دخلت على أهلك فسلم عليهم ، وإذا دخلت بيتا ليس فيه أحد فقل : السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
    (Berkata Mujahid: Apabila engkau memasuki masjid maka ucaplah “Assalamu ‘ala rasulillah”.Apabila engkau memasuki keluargamu, maka ucaplah salam.Dan apabila engkau masuki rumah yang didalamnya tidak ada orang, ucaplah “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis sholihin”)
    Ada juga Imam Bukhori dalam al-adabul mufrad no.1055,dari Ibn Umar radhiallahu ‘anhuma :
    إذا دخل البيت غير المسكون فليقل : السلام علينا وعلى عباد الله الصالحين
    (Apabila engkau masuk rumah yang tidak ada penghuninya, maka ucapkanlah “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis sholihin”).Riwayat ini di hasankan Al-Imam Al-Albani dalam Shahil Al-Adab Al-Mufrad No.806
    Abu Umair As-Sundawy
  6. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Akh, Abu ‘Umair,……… ada riwayat berikut :
    عن عمر قال كنت رديف أبي بكر فيمر على القوم فيقول السلام عليكم فيقولون السلام عليكم ورحمة الله ويقول السلام عليكم ورحمة الله فيقولون السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فقال أبو بكر فضلنا الناس اليوم بزيادة كثيرة
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits no. 987; shahihul-isnad sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adaabul-Mufrad].
    Perhatikan, kaum tersebut menjawab salam Abu Bakr (tunggal) dengan Assalamu’alaikum ….. dst.
    Juga riwayat berikut :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Juga :
    عن رجل من الصحابة : (إذا لقي الرجل أخاه المسلم فليقل :السلام عليكم و رحمة الله)
    [Shahihul-Jami' nomor 790]
    Dan yang lainnya………….
    Ana lebih cenderung bahwa dua-duanya boleh, karena telah shahih dari riwayat tentangnya. Bahkan, secara bahasa – kalau dirasa-rasa – jawaban : Assalamu’alaikum (dengan dlamir jamak) lebih enak didengar; karena lazim dalam bahasa Arab bahwa penggunaan dlamir jamak untuk orang tunggal adalah untuk memuliakannya dan lebih “halus”. Wallaahu a’lam.
  7. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Tambahan :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad 'Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata "man" ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    عن محمد بن عمرو بن عطاء أنه قال كنت جالسا عند عبد الله بن عباس فدخل عليه رجل من أهل اليمن فقال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
    [Al-Muwaththa' Imam Malik juz 2 hadits no. 1722 - Perhatikan : Orang dari Yaman tersebut mengucapkan pada Ibnu 'Abbas dengan dlamir jamak. Atau kalau misal dianggap bahwa yang dituju bukan hanya Ibnu 'Abbas, hadits tersebut tertuju pada dua orang, yaitu Muhammad bin 'Amr dan Ibnu 'Abbas - yang seharusnya menggunakan dlamir mutsanna -, akan tetapi orang tersebut tetap menggunakan dlamir jamak]
    Banyak lagi akh yang mengkhabarkan penggunaan “kum” pada orang tunggal. Barusan ana nyari-nyari lagi tentang hal ini dalam beberapa masanid, sunan, atau yang lainnya. Wallaahu a’lam.
  8. Abu Shalih berkata

    Berkata Akhi Abul Jauza’ :
    “Bahkan, secara bahasa – kalau dirasa-rasa – jawaban : Assalamu’alaikum (dengan dlamir jamak) lebih enak didengar; karena lazim dalam bahasa Arab bahwa penggunaan dlamir jamak untuk orang tunggal adalah untuk memuliakannya dan lebih “halus”.”
    kami berkata :
    Penggunaan dhomir tunggal kepada orang tunggal adalah lebih utama (yang mendahului kami dalam hal ini sejauh pengetahuan kami adalah Syeikh Muhammad Al ‘Utsaimin dan Syeikh Sholih Alu Syeikh dalam ceramah beliau ketika menjelaskan kayfiyah salam dari Abu Darda radlillahu’anh), hal ini karena petunjuknya datang langsung dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam dalam siyaq perintah sebagaimana kepada para sahabatnya, telah disebutkan seperti hadits no. 1 dari jabir bin Muslim, radliallahu’anh
    Demikian pula berdasarkan perintah Nabi untuk salam kepada beliau kepada para sahabat ketika dalam shalat ketika beliau masih hidup (hadits no.2) :
    Ketika Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam berbalik wajah kearah kami, beliau bersabda :
    “Sesungguhnya Allahlah Assalam (maha pemberi kesalamatan), bila kalian duduk dalam shalat, maka katakanlah :
    Attahiyatu lillah, wa sholatu wathoyyibatu, Assalamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullah…”(Shahih Al Bukhari, 5876)
    dan dengan ini semua tidak mungkin kita katakan bahwa para sahabat kurang memuliakan nabi sallallahu ‘alaihi wasallam atau tidak memilih cara salam yang lebih memuliakan (atau lebih halus) nabi di antara cara-cara memuliakan beliau sallallahu ‘alaihi wasallam yang mungkin.
    Ini tentu juga menolak salah satu dalil yang Al Akh Abul Jauza’ bawakan :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Karena perkataan ini seolah-olah menyalahkan sabda nabi sallallahu ‘alaihi wasallam (pada hadits no. 1):
    “maka mereka berkata: ini adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam , maka saya berkata :
    “Alaikassalam wahai rasulullah…”sebanyak 2 kali.
    Maka beliau berkata :
    Janganlah engkau berkata ‘alaikassalam, tetapi katakanlah Assalamu’alaika
    dan dalil dari pertama yang dibawakan :
    riwayat berikut :
    عن عمر قال كنت رديف أبي بكر فيمر على القوم فيقول السلام عليكم فيقولون السلام عليكم ورحمة الله ويقول السلام عليكم ورحمة الله فيقولون السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فقال أبو بكر فضلنا الناس اليوم بزيادة كثيرة
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits no. 987; shahihul-isnad sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adaabul-Mufrad].
    Menyelisihi Kayfiyah salam dari malaikat yang tentunya lebih dekat dengan shohibussyariat (Allah ta’ala) dari pada orang yang berjumpa dengan orang yang dijumpai Abu Bakar (meski kami juga dapat berkata bahwa ada kemungkinan bersama Abu bakar ada orang lain termasuk Umar radlillahu’anhuma, Alihtimal Yud’iful Istidlal-kemungkinan melemahkan istidlal), tetap menggunakan dhomir tunggal ketika menjawab salam nabi adam ‘alaihissalam (hadits no.3) :
    “Allah menciptakan Adam, dengan tinggi enam puluh hasta, kemudian Allah berkata : “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu” kemudian Adam berkata : Assalamu’alaikum, maka para malaikat menjawab : “assalamu’alaika warahmatullah”
    Shahih Bukhari, 5873 dalam riwayat lain, Nabi berkata : maka para mala’ikat pun menambah salamnya dengan warahmatullah…(Shahih Muslim, 2841)
    Para malaikat tetap menggunakan dhomir (kata ganti) ka ketika menjawab salam Adam dan tidak kum.
    salam ini pada hakikatnya yang dimaksudkan menjadi contoh bagi anak Adam sebagaimana Allah katakan :
    “pergilah dan salamlah kepada para malaikat ini, dengarkan ucapan penghormatan mereka sebagai ucapan penghormatanmu dan penghormatan keturunanmu”
    Akhi Abul Jauza’ juga berkata :
    Tambahan :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Konteks pembahasan adalah dalam mussalam ‘alaih (yang diberi salam), bukan Al musallim (yang menyampaikan salam), adapun dalam hadits di atas “man” tersebut adalah Al Musallim, yang artinya ‘Amm ‘ala kulli afrodin bila hasr.
    Kalaupun memang benar-benar umum (untuk musallam ‘alaih) maka hal tersebut ditakhsis oleh sejumlah sabda nabi dan perbuatan dan nabi
    sallallahu ‘alaihi wasallam sendiri.
    Abu Shalih
    Wallahu Subhanahu A’lam.
  9. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Terima kasih atas respon yang diberikan oleh saudaraku yang mulia lagi berilmu : Abu Shalih.
    Sebenarnya, bagi ana, perkaranya adalah sederhana. Selagi ada dalil shahih yang mendasari, maka itu boleh diamalkan. Hal itu tentu merupakan wujud kaidah emas para imam : Idzaa shahhal-hadiitsu fahuwa madzhabii. Beberapa hadits memang telah dinukil oleh akh Abu Shalih.
    Hadits (1) menggunakan dlamir tunggal; dimana dalam hadits ini ada penjelasan hukum dilarangnya kita mengucapkan ‘Alaikas-salaam.
    Hadits (2) menggunakan dlamir tunggal; dimana hadits ini mengandung hukum lafadh shalawat ketika shalat.
    Hadits (3) menggunakan dlamir tunggal, yaitu jawaban malaikat kepada ‘Adan ‘alaihis-salaam.
    Dst.
    Kemudian akh Abu Shalih mengatakan bahwa hadits-hadits/riwayat-riwayat yang ana tuliskan “bertentangan” dengan hadits yang beliau bawakan.
    Abu Al-Jauzaa’ berkata : “Mengapa harus dita’arudlkan padahal dua-duanya merupakan riwayat yang sah dan tidak ada pertentangan dalam makna ?”. Kita lihat dalam Al-Adabul-Mufrad no. 987. Dalam atsar tersebut menunjukkan pada kita bahwa salam kepada orang tunggal dengan “kum” itu sudah sangat lazim diucapkan oleh para shahabat di kala itu. Begitu pula tercermin pada Al-Adaabul-Mufrad no. 1037 dan Al-Muwaththa’ no. 1722.
    Dan yang sangat jelas adalah penyebutan riwayat dalam Shahihul-Jami’ nomor 790 atau bisa ditengok dalam Silsilah Ash-Shahiihah nomor 1403; dimana beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Apabila seseorang bertemu dengan saudaranya [perhatikan hadits ini menggunakan bentuk tunggal], hendaklah ia mengucapkan Assalamu’alaikum…..dst”.
    Begitu juga yang terdapat dalam Al-Muntakhabnya ‘Abdun bin Humaid.
    Akh Abu Shalih juga menambahkan bahwa riwayat yang ana bawakan dibawakan dalam konteks musallam ‘alaihi, bukan Al-Musallim. Ana tidak akan menjawab dan menanggapi, karena sebenarnya telah terjawab dari riwayat-riwayat yang dicontohkan oleh akh Abu Shalih dan juga anba bawakan.
    Antum mengatakan bahwasannya beberapa riwayat yang ana ada “kemungkinan” bahwa yang diberi salam itu tidak sendirian. Jawaban “kemungkinan” itu sendiri telah membatalkan hujjah antum, sebab “kemungkinan” pula hadits tersebut tetap menceritakan orang tunggal. Bukankah manthuq lebih didahulukan akhi ? Manthuqnya sangat jelas berbicara tentang tunggal.
    Perkataan ana bahwa jamak lebih halus sama sekali tidak mengisyaratkan bahwa jawaban bentuk mufrad tidak halus. Mungkin tidak perlu ana panjangkan, karena ana yakin antum pun telah paham maksud ana.
    Intinya, dua-duanya boleh diucapkan baik dengan mufrad maupun jamak. Wallaahu a’lam.
  10. Abu Faris an-Nuri berkata

    Maaf, ikut nimbrung dikit ya… ^_^ (setelah sebelumya berdiam diri) gpp khann?
    Secara substansi, saya cenderung sependapat dg Abul Jauzaa` dlm hal ini… (stl beberapa kali beda pendapat dg beliau :p)
    Katakanlah, yg tepat adalah menggunakan dhamir tunggal, namun manakah dalil yg melarang penggunaan dalil jama’? Jika keduanya dapat digunakan, terlepas dari mana yg sebenarnya lebih tepat dan utama utk digunakan (dan sepertinya inilah yg ‘diperdebatkan’), maka rasanya hal ini terlalu urgen untuk dipermasalahkan ^_^
    Sependek yg saya ketahui, dalam bahasa Arab sendiri terdapat pergeseran nilai, yaitu seseorang sepertinya ‘kurang sopan’ untuk menggunakan dhamir tunggal, karena itu biasanya tetap digunakan dhamir jama’ meskipun mukhatab-nya (yg diajak bicara) adalah tunggal.
    Wallahu a’lam bish shawab.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
  11. Abu Faris an-Nuri berkata

    Ralat… maksud saya: … hal ini tidak terlalu urgen untuk dipermasalahkan
  12. Abu Shalih berkata

    Abu Shalih beri’tidzar untuk terlambat memberikan tanggapan atas 2 postingan terakhir, dikarenakan harus ndeso terlebih dahulu selama kira-kira sepekan.
    Al Ustdaz yang mulia Abul Jauza’ berlebihan dengan menyebut ana berilmu, ana tidak lebih dari tuwaiwailib (tasghir-kalo ada-dari tuwailib :)) yang sangat membutuhkan bimbingan dari yang para salafyiin yang jauh lebih berilmu di sini, sehingga mohon diluruskan bila ditemukan adanya kejelasan yang jelas pada abu shalih.
    Dari beberapa postingan Al Akh Abul Jauza’ rasanya postingan terakhirlah yang cukup memberikan kejelasan, innalllah yuhibul inshoff..sesungguhnya Allah mencintai inshoff..
    Sebelumnya ana ingin sedikit mengomentari thread ustadz yang sangat murah senyum nan produktif dalam menorehkan aneka pembahasan ilmiah yang telah membantu menghidupkan budaya ‘ilmiah dalam millis ini, Al ustadz Abu Faris.., terlepas akurasi hasil tarjihaat beliau..
    Beliau berkata :
    “Katakanlah, yg tepat adalah menggunakan dhamir tunggal, namun manakah dalil yg melarang penggunaan dalil jama’?”
    Ana kurang setuju dengan pendapat beliau dalam hal ini.
    Sejauh yang ana fahami (bukan berarti pemahamannya jauh loh..:) ) adalah pengucapan salam adalah termasuk ke dalam bab ibadah yang pada asalnya adalah tawaquf, menunggu petunjuk pembuat syariat, sehingga bentuk pertanyaannya lebih mengarah mana dalil yang menunjang bahwa kayfiyah salam tertentu dapat digunakan ?
    Beberapa dalil yang ana sebutkan menunjukkan bahwa nabi sallallahu’alaihi wasallam benar-benar memberikan bimbingan dalam salam yang rasio kita hampir tidak mungkin menjangkaunya sehingga semakin menunjukkan bahwa kayfiyah salam benar-benar masuk bab ta’abbudi yang sekali lagi pada asalnya adalah tawaquf dan haram. Bagaimana mungkin kita tahu bahwa ketika memulai salam kita dilarang menggunakan lafadz ‘Alaikassalam (karena merupakan salam kepada orang yang telah mati) sementara ketika menjawabnya (dengan lafadz ‘alaikassalam) diperbolehkan ? hanya dari petunjuk nabilah kita tahu.
    Dari sinilah para Imam kita pada zaman sekarang seperti syeikh Ibnu ‘Utsaimin atau syeikh Shalih Alu Syaikh tetap membahas hal ini (mana yang benar/lebih utama) dengan tetap mengedepankan dalil-dalil ‘naqli sebagai acuan dalam pembahasan dan tarjih mereka. Mustahil rasanya mereka tidak mengetahui adanya pergeseran nilai kesopanan yang menuntut adanya pergantian dari satu dhomir ke dhomir yang lainnya. Hal ini ana yakin telah terpatri dalam manhaj mereka : “bila telah tetap adanya suatu nash maka batallah ro’yu atau rasio “
    sehingga yang terbaik bagi kita adalah tetap mengeksplorasi dalil-dalil yang shahih yang ada dan mencari mana yang benar dan bila memang dalil yang ada dapat digunakan maka manakah yang lebih utama dengan berlandaskan keyakinan bahwa kayfiyah salam masuk ke dalam bab ibadah yang disyariatkan dalam islam,
    Contoh praktik yang biasa kita laksanakan dalam sikap ketawaqufan penggunaan dhomir adalah saat bertasymit kepada saudara kita yang bersin dan mengucapkan hamdallah, sejauh ini ana tidak pernah sekalipun ada seorang ikhwan yang bertasymit dengan ucapan yarhamukumullah, namun kita tetap menggunakan yarhamukallah yang menunjukkan kita tetap konsisten dalam satu hal ini. Dan dalam penggunaan ini tidak terpikirka oleh kita bahwa menggunakan “yarhamukallah” kurang sopan sehingga perlu menggantinya dengan yarhamukumullah.
    Setelah mendalami lebih dalil-dalil yang dipaparkan oleh Al Akh Abul Jauza’ insya Allah kebenaran ada bersama beliau, bahwa syariat salam kepada orang tunggal juga warid dari nabi sallallahu ‘alaihi wasallam, dalil yang sangat sharih dalam hal ini adalah riwayat At Tirmidzi :
    حدثنا سويد أخبرنا عبد الله أخبرنا خالد الحذاء عن أبي تميمة الهجيمي عن رجل من قومه قال : طلبت النبي صلى الله عليه وسلم فلم أقدر عليه فجلست فإذا نفر هو فيهم ولا أعرفه وهو يصلح بينهم فلما فزع قام معه بعضهم فقالوا يا رسول الله فلما رأيت ذلك قلت عليك السلام يا رسول الله عليك السلام يا رسول الله عليك السلام يا رسول الله قال إن عليك السلام تحية الميت إن عليك السلام تحية الميت ثلاثا ثم أقبل علي فقال إذا لقي الرجل أخاه المسلم فليقل السلام عليكم ورحمة الله ثم رد علي النبي صلى الله عليه وسلم قال وعليك ورحمة الله وعليك ورحمة الله وعليك ورحمة ال
    Takhrij hadits ini ada pada shahih jami’ussoghir sebagaimana yang disebutkan oleh Al Akh Abul Jauza’
    Kemudian ana sebenarnya tidak mempertentangkan semua hadits yang dibawakan oleh Abul Jauza’, namun ana melihat ini berdasarkan dzahir hadits yang ana fahami pada salah satu hadits yang beliau gunakan.
    Hadits tersebut adalah :
    عن سالم مولى عبد الله بن عمرو قال وكان بن عمرو إذا سلم عليه فرد زاد فأتيته وهو جالس فقلت السلام عليكم فقال عن معاوية بن قرة قال: قال لي أبي: “يا بني ! إذا مرّ بك الرجل، فقال: السلام عليكم، فلا تقل: وعليك. كأنك تخصّه بذلك وحده؛ فإنه ليس وحده، ولكن قل: السلام عليكم”.
    [Al-Adaabul-Mufrad hadits nomor 1037; lihat Shahihul-Adabil-Mufrad no. 795]
    Terjemahan bagian akhirnya :
    Dari Mu’awiyyah bin Qurroh ia berkata : berkata aby kepadaku :
    Wahai anakku, bila seorang laki-laki bertemu denganmu Assalam’alaikum kemudian ia berkata : Assalamu’alaikum maka jangan katakan : wa’alaika (tunggal saja), seolah-olah engkau hanya mengkhususkan (salam tersebut) kepadanya saja, sesungguhnya ia tidak sendiri, tetapi gunakanlah Assalamu’alaikum.
    Dalam hadits ini, Qurroh radlilallahu ‘anh (seorang shohaby) menyalahkan anaknya (mu’awiyah) bila salam dengan menggunakan ka, dan demikian pula menjawab salam dengan wa’alaika. Illahnya karena hal menurutnya pada setiap orang tidak sendiri (ana menduga adalah keberadaan malaikat pengawas , pencatat dan penjaga mukmin) sehingga gunakanlah assalamu’alaikum dan Wa’alaikum salam.
    Bukankah perkataan ini, sekali lagi, seolah-olah menyalahkan petunjuk nabi sallallahu’alaihi wasalam ? sebab perkataan nabi ketika memberikan petunjuk salam (hadits jabir bin Muslim) adalah dengan dhomir tunggal demikian pula kayfiyah praktik menjawab salam nabi sallallahu ’alaihi wasallam kepada para sahabatnya, misalnya ketika menjawab salam orang yang salah dalam sholat (musii’us sholah), dengan wa’alaikassalam, demikian pula salam kepada Abu Dzar dan seterusnya ?
    Selain itu pula hadits ini hanya berstatus mauquf pada shahabat, tentu tidak bisa dibandingkan dengan hadits marfu’ sampai ke Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam. Atau Abul Jauza’ memiliki pemahaman yang lebih jeli terhadap hadits ini sehingga bias membantu Abu shalih dalam memahaminya.
    Adapun hadits cerita Abu Bakar dan Umar ketika bertemu dengan sekelompok kaum (pasti sahabat ?) pertama, kami tidak menggunakan ini sebagai hujah, sehingga kami pun menggunakan ucapan ‘tamridl’ Al Ihtimal yudl’iful Istidlal, karena maksudnya adalah lebih pada menguji ‘kekuatan’ dalil lawan kami bahwa hadits ini menunjukkan salam benar-benar hanya pada Abu Bakar saja, dan bukan maksud kami menggunakannya sebagai dalil. Dan yang kedua, pemastian bahwa kaum yang dijumpai Abu Bakar dan Umar adalah para sahabat, sehingga kita bisa mengatakannya bahwa hal ini adalah lafadz salam yang lazim dan lebih dibiasakan oleh para sahabat, fiihi nadzrun.
    Selanjutnya klarifikasi saja, hadits yang dinukil :
    Dan Al Muwatha’ 470
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Abu Shalih berkata : kembali katakan benar bahwa man adalah lafadz umum, yang maksudnya adalah ‘aam ‘ala kuli afrodin (pada tiap orang tunggal bukan jamak) bila hasr. Maknana Tiap individu yang menyampaikan salam dengan lafadz tersebut mendapatkan ganjaran sesuai yang disebutkan dalam hadits, namun kami heran kenapa Al Akh Abul Jauza’ memaknainya nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak ? karena makna umum tersebut tidak berkaitan dengan orang yang menyampaikannya apakah jamak atau tunggal, karena jelas lafadz man adalah untuk tiap orang tunggal yang mengucapkan salam. oleh sebab itulah Abu shalih sebelumnya mengatakan konteks pembahasan kan dalam Al Musallam ‘Alaih (orang yang diberi salam tunggal atau jamak), mengapa larinya ke man yang pembahasannya adalah tentang Al Musallim, atau mungkin Abu Shalih yang salah memahami maksud Akh Abul Jauza’,
    ‘ala kulli hal..Dari pembahasan ini, insya Allah kita dapat mengambil banyak pelajaran, Syeikh ibnu ‘utsaimin..mengoreksi pendapat Al imam An Nawawai rahimahumallah tentang pengutamaan penggunaan kum pada orang tunggal karena dari dalil-dalil yang ada ini kurang tepat, dan kejelian Al Akh Abul Jauza’ memberikan ta’liqoot tambahan terhadap hal ini dan insya Allah, kita tidak perlu ragu lagi untuk menggunakan dhomir jamak pada salam kepada orang tungg al…jazaka(dengan tidak bermaksud sedikitpun kurang sopan:))llah khairal Jaza’..
    Adapun yang lebih utama, kayaknya perlu analisis lebih lanjut lagi, walaupun jiwa ini tetap lebih cenderung pada dhomir ka mengingat penerapan langsung dari nabi lebih banyak dengan menggunakan dhomir ini, hatta dalam hadits riwayat tirmidzi di atas setelah bersabda idza laqiya Ar Rajulu…nabi tetap menjawab salam sahabat dengan wa’alaikassalam…
    Wallahu subhananu A’lam..
    Mohon maaf kepada Al ustadzaani bila ada kata yang kurang berkenan dari Abu Shalih..
    Salam dari puncak menara wisma Al fath..
    Abu Shalih
  13. Abu shalih berkata

    Setelah mendalami lebih dalil-dalil yang dipaparkan oleh Al Akh Abul Jauza’ insya Allah kebenaran ada bersama beliau, bahwa syariat salam kepada orang tunggal juga warid dari nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
    ralat :
    maksudnya “syariat salam dengan lafadz kum kepada orang tunggal”
  14. Abu Al-Jauzaa' berkata

    Terima kasih atas tanggapannya………. Dan jikalau urusannya jadi panjang. Tidak ada kata buang waktu jika kita meniatkan untuk mengambil faedah dari ilmu agama, walaupun itu mungkin hanya masalah “ka” dan “kum”.
    Mengenai hadits Mu’awiyyah bin Qurrah, ana memahaminya adalah bahwa pelafadhan “kum” pada objek tunggal itu sudah sangat dikenal di kalangan shahabat. Satu sisi, bapaknya Mu’awiyyah ‘membenarkan’ jika ada salah seorang (tunggal) bertemu dengan Mu’awiyyah dengan ucapan Assalamu’alaiKUM, maka hendaknya Mu’awiyyah menjawab : Wa’alaiKUM. Memang ada kemungkinan yang dimaksudkan adalah sebagaimana perkataan antum, yaitu adanya malaikat pencatat. Ada juga kemungkinan lain, yaitu bahwa ia memang benar-benar bersama orang lain (alias tidak sendiri ketika mengucapkan). Kita berhusnudhan bahwa mereka (para shahabat) tidak hendak untuk menyalahkan petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
    Adapun kasus Abu Bakar dan ‘Umar, maka jawaban adalah sebagaimana di atas; yaitu bahwa salam dengan dlamir jamak kepada orang tunggal itu sudah lazim dilakukan oleh salaf.
    Abu Al-Jauzaa’ berkata :
    عن أبي أمامة بن سهل عن أبيه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من قال السلام عليكم كتبت له عشر حسنات ومن قال السلام عليكم ورحمة الله كتبت له عشرون حسنة ومن قال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته كتبت له ثلاثون حسنة
    [Al-Muntakhab min Musnad ‘Abdun bin Humaid hadits no. 470 - kata “man” ini adalah umum/nakirah yang meliputi tunggal maupun jamak]
    Setelah dipikir-pikir, betul ada kesalahan redaksi. Maaf ya jika telah menimbulkan salah persepsi. Maksud ana sebenarnya adalah bahwa kata man yang umum (nakirah) ini dihubungkan dengan kalimat setelahnya : “Man qaala Assalamu’alaikum”. Nah,… objek yang dituju oleh kata “man” ini kan juga nakirah (umum). Apakah si Al Musallam ‘Alaih itu tunggal atau jamak. Itu sebenarnya maksud ana akh………. Kembali kepada keumuman lafadhnya.
    Sebenarnya ana sempat mengeksplor lebih lanjut mengenai contoh-contoh hadits yang menunjukkan tentang dibolehkannya menggunakan lafadh “KUM”. Ada beberapa yang ana peroleh. Ada yang shahih, adapula yang tidak shahih. Namun, satu contoh riwayat Tirmidzi di atas jika telah memberi kemanfaatan bagi kita semua. Dan itu telah mencukupkan bagi ana, insyaAllah……….
    ‘Alaa kulli haal, mohon maaf jika ada kesalahan. Maklum akh, ana masih amatiran.
  15. Abu Faris an-Nuri berkata

    Terima kasih atas koreksinya… :p
    Maksud saya, sekiranya kita sudah sepakat (?) tentang kebolehannya, maka rasanya tidak terlalu urgen rasanya ‘perdebatan’ yg panjang ini. Karena kesimpulannya sudah dapat dikatakan sama, yaitu: boleh. Kecuali, apabila yg satu berpendapat boleh dan yg lain berpendapat tidak boleh (minimal makruh). Lagipula, hukum dalam permasalahan ini dikembalikan kepada hukum salam itu sendiri. Artinya, berkisar antara sunnah dan wajib. Dan tidak dapat dikatakan kepada pendapat yg berseberangan itu sebagai tidak sunnah. Paling banter untuk dikatakan adalah: yg ‘lebih pas’ adalah begini.
    Terkait kaidah yg disebutkan oleh Ustadz Abu Shalih dlm mengomentari tanggapan saya, yaitu bahwa: al-ashl fil ‘ibadat at-tauqif au at-tahrim (hukum asal dalam ibadah adl haram atau terhenti pada dalil), sehingga tidak diperlukan lagi pertanyaan: “mana dalil yg melarang?”, maka sekiranya beliau konsisten berpegang pada kaidah tersebut, tentu kesimpulan yg seharusnya lahir dari beliau adalah: haram hukumnya (atau bid’ah) menggunakan dhamir jama’ (kata ganti plural) dalam salam untuk mukhatab (yg diajak bicara) tunggal. Bukankah demikian. Namun apakah ternyata demikian kesimpulan Ustadz? :p
    Dan, menurut saya, ternyata di situlah sebenarnya letak permasalahannya, yaitu: apakah penggunaan dhamir (kata ganti) merupakan perkara ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na? Jika kita mengatakan ta’abbudi, artinya dhamir dalam salam yg terdapat dalam nash tidak dapat di-ubah2 atau disesuaikan dg mukhathab, dan terhenti dg nash. Namun, jika kita mengatakan bahwa perkara ini adalah ma’qul al-ma’na, maka dhamir dalam salam dapat disesuaikan dg mukhathab.
    Selanjutnya, jika ternyata kita menguatkan bahwa hal ini adalah ma’qul al-ma’na, berarti permasalahannya dikembalikan kepada pengertian dan pemahaman lughah (etimologis) itu sendiri (yg ternyata juga bukanlah hal yg konstan). Bukankah demikian?
    Wallahu a’lam bish shawab.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
    NB. Sekedar ifadah, terdapat sebagian masalah fiqh yg sumber perbedaan pendapatnya disebabkan oleh penentukan apakah perkara tersebut termasuk ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na? Hal ini tentunya merupakan perkara yg ma’ruf di kalangan penuntut ilmu. Misalnya (seingat saya): Perbedaan pendapat tentang bolehkah khuthbah Jum’at selain dg bahasa Arab; bolehkah mengucapkan doa dalam sujud dg doa ‘buatan sendiri’ (yg tidak disebutkan dalam al-Qur`an), hukum memasukkan tangan ke dalam bejana ketika bangun tidur tanpa mencucinya terlebih dahulu, dan lain-lain.
    Wallahu a’lam bish shawab.
  16. Abu Shalih berkata

    Jazakumallah atas thread kilat dari Al Ustadzani sekalian.
    Yang pertama, ana sangat jauh untuk bisa disebut sebagai ustadz sehingga mohon embel-embel ini tidak melekat sama sekali pada “Abu Shalih”. Adapun Akhi Abul Jauza’ dan Abu Faris rasanya ana memiliki salaf : ) dalam hal ini sehingga ana tak sungkan pula menyebut keduanya dengan ustadz.
    Selanjutnya, meski yang kita bahas di sini adlaah masalah ka dan kum, mudah2an nilai manfaatnya tidak kecil dan kalau kita pikirkan bukankah implikasinya cukup luas ? berapa kali kita mengucapkan salam kepada orang-orang disekitar kita ?
    Tepat apa yang dikatakan oleh Ust.. Abu Faris bahwa pintu masuk pembahasan dapat dimulai dari penentuan status hukum salam itu sendiri, apakah masuk ke dalam bab ta’abbudi atau bukan.
    Ana merasa ini adalah permasalahan yang cukup tipis dalam batasnya dan ana rasa tidak mudah untuk menentukannya. Berarti Abu Shalih terburu2 dalam mengkalim ? kita uraikan dulu..
    bila memperhatikan perkataan Syeikh ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah-dalam syarh riyadhus shalihin- ketika membuka pertanyaan, sebagaimana uslub beliau untuk meningkatkan tanbih dari pembaca / pendengar saat muhadhoroh, yakni :
    Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
    Asshohih..(Yang benar) adalah : Assalamu’alaika (dhomir tunggal-pen). Demikianlah yang tsabit dari Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam seperti dalam hadits Al musii’u fisholah (yang sholatnya salah), ia berkata : Assalamu’alaika..
    Dzahirnya dari kalam beliau ini, (Ashohih) memberikan mafhum mukholafah yang selainnya adalah ghoiru shohih aw makruhun limukholafati sunnati nabi ‘alahi sholatu wasallam. Karena bila kerangkanya adalah sekedar dalam hubungan keutamaan, maka mungkin akan digunakan ucapan Al Aula.
    Demikian pula pertanyaan yang digunakan : Apabila kita salam kepada satu orang apakah dengan Assalamu’alaika atau Assalamu’alaikum ?
    Mafhum yang cepat kita tangkap dalam benak kita dari bentuk pertanyaan ini, mana yang sesuai dengan sunnah…?
    Kemungkinan kedua, taruhlah misalnya beliau tidak menganggap masalah ini tidak masuk ke dalam bab ta’abbudi secara jazm, namun dari keseluruhan pembahasan beliau hingga selesai tidak ada indikasi dari beliau untuk memberikan ‘kelapangan’ untuk bebas menggunakan dhomir lainnya yakni kum atau lainnya, karena inilah hasil tarjih beliau-yakni menggunakan dhomir ka-yang ana rasa ini adalah bentuk kewara’an dari beliau. Insya Allah ini adalah bentuk sikap beliau yang bisa kita teladani. Yakni tidak mudah menghukumi ini adalah sekedar berstatus ma’qul al ma’na sebagai bentuk kewara’an.
    Bila Al Ust. Abu faris dapat membuktikan bahwa ini adalah sekedar berstatus ma’qul ql ma’na fal yatafaddhol Masykuuron…
    Ifadahnya ditunggu…
    Selanjutnya, insya Allah ana tetap konsisten, anggapan bahwa ana tidak konsisten kemungkinan lahir karena Ust. Abu Faris tidak menyelesaikan pembacaan postingan ana dengan sempurna sehingga bisa mengetahui alur bagaimana pada akhirnya ana sependapat dengan Ust. Abul Jauza’. Ana pada akhirnya sependapat dengan beliau setelah ‘beradu’ dalil antara dalil yang sebelumnya ana sebutkan dan dalil yang beliau bawakan, dan ternyata Abu Shalih luput dalam menggabungkan beberapa dalil sehingga berkesimpulan awal pentarjihan pendapat Imam Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah. Ternyata Abul Jauza dapat lebih ‘canggih’ dalam bahs al Adillah sehingga bisa memberikan kesimpulan berbeda dari ana sebelumnya, dalam sikap seperti inilah ana lebih selaras dan lebih melapangkan hati.
    Pertanyaan balik dari ana, bila Al Ustadz Abu Faris sejak awal menganggap ini (antara ka dan kum) adalah perkara ma’qul al ma’na maka dalam perkara lain, contohnya seperti yang ana sebutkan yakni menjawab tasymit, seharusnya selalu menggunakan yarhamukumullah dan Jazakumullah ketika bersyukur atas kebaikan orang lain, karena kalau hukum asalnya tidak berbeda maka dicari yang tidak ‘kurang sopan’ to ?
    Mohon maaf bila ada kata yang kurang berkenan…nuwun sewu : )
    Wallahu ta’ala a’alam
    Salam Abu Shalih
  17. Abu Faris an-Nuri berkata

    Hasanan ya Jazakumullah khairan ya Ustadzana Aba Shalih… ^_^ (pake jama’, hehe)
    Sekedar ifadah, terkait dg melacak akar permasalahan atau sebab perbedaan pendapat, maka terkadang hal itu berdasarkan penelitian dan kesimpulan orang yg belakangan, yg mana hal itu tidak disebutkan oleh para pendahulu sebagai pemilik pendapat.
    Lebih jelasnya, ambil saja semisal kitab Bidayatul Mujtahid, karya Ibn Rusyd. Beliau sering kali menyebutkan sababul khilaf (sebab perbedaan) dalam permasalahan ini dan itu adalah ‘begini’ dan ‘begitu’. Padahal ‘begini’ dan ‘begitu’ tersebut tidak disebutkan oleh para ulama yg pendapatnya dikutip oleh Ibn Rusyd. Begitu pula dg menyatakan bahwa sebab perbedaan pendapat adalah perbedaan persepsi apakah hal tsb masuk ke dalam ta’abbudi ataukah ma’qul al-ma’na. Bisa jadi ulama pemilik pendapat tidak menyebutkan bahwa ini adalah ma’qul al-ma’na atau ta’abbudi, namun orang yg datang setelahnya dapat membuat kesimpulan bahwa akar perbedaan tersebut adalah dari sisi penentuan ma’qul al-ma’na atau ta’abbudi.
    Terkait dg pertanyaan antum, untuk saya pribadi dan yg saya amalkan adalah, saya cenderung kepada bahwa penentuan dhamir dalam salam adalah sesuatu yg ma’qul al-ma’na. Karena itu, saya sering memakai lafazh: jazakumullahu khairan, meskipun untuk mukhathab yg tunggal, apalagi jika mukhathabnya adalah orang tua atau orang yg terhormat, karena hal itu ‘lebih halus’ (gantinya ‘lebih sopan’, hehe) secara bahasa (sependek yg saya tahu). Namun, tentunya saya pun sama sekali tidak berpendapat bahwa memakai dhamir tunggal itu terlarang atau makruh.
    Salam,
    Abu Faris an-Nuri
    NB: Mungkin ada hal yg selama ini terlewatkan, sebenarnya secara tidak langsung, disadari maupun tidak, kita ini (saya, Ustadz Abu Shalih, dan Ustadz Abul Jauzaa`) bersepakat bahwa penentuan dhamir dalam hal ini adalah ma’qul al-ma’na, meskipun dg ‘uraian’ dan ‘gaya pembahasan’ yg berbeda. Coba dipikirkan dan direnungkan deh… :p