Thursday, March 29, 2012

Perbahasan: Hukum Bersalaman Di Antara Lelaki & Wanita Yang Bukan Mahram (Part 2 Final)

Perbahasan: Hukum Bersalaman Di Antara Lelaki & Wanita Yang Bukan Mahram (Part 2 Final)

Posted by thinker on 23/03/2009
robot-salam
Pendapat Yang Rajih (Kuat)

Pendapat yang rajih (kuat) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukumnya mubah. Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Hadits yang sering digunakan oleh golongan yang berpendapat haramnya berjabat tangan dengan bukan mahram adalah hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. Sedangkan golongan yang mengatakan mubah adalah berdasarkan riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. Untuk mentarjihnya kita perlu memperhatikan kaidah tarjih dalam ilmu hadits yang telah dijelaskan para ulama bahwa:

“Rawi yang mengetahui secara langsung kedudukannya lebih kuat dari pada Rawi yang mengetahui tidak secara langsung.”

Dari hadits-hadits diatas, maka hadits yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyah r.a. lebih kuat, sebab beliau melihat dan mengetahui secara langsung perbuatan Rasulullah Saw yang berjabat tangan dengan wanita bukan mahram pada saat berbai’at. Bahkan Ummu ‘Athiyah r.a. sendiri berjabat tangan dengan Rasulullah Saw seperti apa yang tersirat dari hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah r.a. isinya merupakan pendapat beliau yang menggambarkan tahap keilmuan beliau. Bahwa selama beliau (‘Aisyah r.a.) bergaul dengan Rasulullah Saw, beliau tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Jadi secara tidak langsung ‘Aisyah r.a. menceritakan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.

2. Memang benar ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan wanita bukan mahram. Tetapi tidak bisa langsung disimpulkan bahwa Rasulullah Saw mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab apa yang dikatakan ‘Aisyah hanya menjelaskan tentang ketiadaan perbuatan Rasul –dalam hal ini berjabat tangan – yang diketahui ‘Aisyah, dan tidak menunjukkan larangan berjabat tangan dengan bukan mahram. Perlu diketahui bahwa kehidupan Rasulullah sehari-hari tidak selamanya didampingi ‘Aisyah r.a., bahkan kehidupan Rasulullah Saw bersama ‘Aisyah r.a. lebih sedikit dibandingkan dengan kehidupan Rasulullah Saw di luar rumah (berdakwah tanpa disertai ‘Aisyah r.a.). Sehingga kalau ‘Aisyah r.a. tidak pernah melihat Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram, tidak boleh langsung disimpulkan haram berjabat tangan dengan bukan mahram. Sebab pada keadaan lain ada yang melihat dan mengetahui (Ummu ‘Athiyah r.a.) Rasulullah Saw berjabat tangan dengan wanita bukan mahram. Oleh kerana itu hadits riwayat Ummu ‘Athiyah r.a. lebih rajih (kuat) untuk dijadikan dalil dan dapat diambil serta menentukan bolehnya berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram.

3. Hadits-hadits yang menunjukkan larangan ‘menyentuh wanita’ serta hadits-hadits lain yang maknanya serupa. Misalnya hadits shahih yang berbunyi:

“Ditikam seseorang dari kalian dikepalanya dengan jarum dari besi, itu lebih baik dari pada menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Thabrani].

Atau hadits yang berbunyi:

“Lebih baik memegang bara api yang panas dari pada menyentuh wanita yang bukan mahram.”

Menurut golongan yang membolehkan berjabat tangan, menjelaskan bahwa kata ‘massa’ yang artinya ‘menyentuh’ dalam hadits tersebut adalah lafadz musytarak (memiliki makna ganda) yakni bisa berarti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Selain itu pengertian ‘menyentuh’ juga sering digunakan kata ‘lamasa’ yang juga memiliki makna ganda, yakni bisa bererti ‘menyentuh dengan tangan’ atau ‘bersetubuh’. Ayat-ayat al-Qur’an dan as-Sunnah dalam menjelaskan menyentuh dengan tangan sering menggunakan kata ‘lamasa’. Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah SWT:

“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. an-Nisaa’ [4]: 43).

Juga firman Allah SWT:

“… atau kamu telah menyentuh wanita…” (Qs. al-Maa’idah [5]: 6).

“Dan kalau kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat menyentuhnya dengan tangan mereka sendiri…” (Qs. al-An’aam [6]: 7).

Arti kata ‘lamasa’ menurut bahasa Arab sendiri adalah ‘menyentuh dengan tangan’. Di dalam kamus Al Muhith, juz II, hal. 249, arti ‘lamasa’ adalah ‘al jassu bil yadi’ (menyentuh dengan tangan).

Dalam kedua ayat pertama, kalimatnya berbentuk umum untuk seluruh kaum wanita, yaitu bersentuhan dengan wanita membatalkan wudhu dan hal ini menunjukkan bahwa hukumnya terbatas pada batalnya wudhu kerana menyentuh wanita. (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Nidzham Ijtima’i Fil Islam, hal. 58). Sedangkan dalam ayat ketiga memperjelas bahwa yang dimaksud menyentuh adalah memegang dengan tangan.

Didalam hadits-hadits pun terdapat kata ‘lamasa’ yang artinya menyentuh dengan tangan. Diriwayatkan:

Telah berkata Ibnu ‘Abbas: “Tatkala Ma’iz bin Malik datang kepada Nabi Saw (mengaku berzina), bersabdalah Rasulullah Saw: ‘Barangkali engkau hanya mencium atau menyentuh atau melihat saja?’ Jawab dia, ‘Tidak! Ya Rasulullah.’ Berkata (Ibnu ‘Abbas), ‘Maka sesudah itu beliau memerintahkan agar dia itu dirajam’.” [HSR. Al-Ismailiy]. (Lihat A. Hassan, Soal-Jawab, hal. 53 – 55).

Juga diriwayatkan:

“Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw melarang jual-beli dengan cara ‘mulamasah’ dan ‘munabadzah’.” [HR. Bukhari Muslim ].

Jual beli secara ‘mulamasah’ iaitu: Jika seorang pembeli berkata, apabila engkau menyentuh kainku dan aku menyentuh kainmu, maka terjadilah jual-beli. (Lihat kitab hadits Lu’lu wal Marjan, juz II, hal. 150).

4. Kata ‘massa’ merupakan lafadz musytarak, sehingga dalam sebuah ayat dan beberapa riwayat berarti “menyentuh dengan tangan”. Yakni di dalam firman Allah SWT:

“Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Qs. al-Waaqi’ah [56]: 78).

Juga dalam riwayat:

“Dan dari Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm dari ayahnya, dari datuknya, bahwa Nabi Saw pernah mengirim surat kepada penduduk Yaman, yang (di dalamnya): ‘Tidak boleh menyentuh Qur’an melainkan orang yang suci’.” [HR. Al-Atsram dan Daraquthni]. Hadits yang serupa juga diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa.

Tetapi, hadits-hadits yang diggunakan sebagai dalil oleh golongan yang mengharamkan ‘menyentuh wanita’ menggunakan kata ‘massa’ yang lebih tepat diartikan ‘bersetubuh’ bukan ‘menyentuh dengan tangan’. Kata-kata ‘massa’ dengan arti ‘bersetubuh’ lebih banyak ditemukan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Misalnya firman Allah SWT:

“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka…” (Qs. al-Baqarah [2]: 236).

“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu sentuh (setubuh) mereka, padahal…” (Qs. al-Baqarah [2]: 237).

Juga firman-Nya:

“Maryam berkata: ‘Bagaimana aku bisa mempunyai anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusiapun yang menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina’.” (Qs. Maryam [19]: 20).

“…kemudian kamu ceraikan mereka sebelum sentuh (setubuh) mereka…” (Qs. al-Ahzab [33]: 49).

Dan masih banyak ayat lain yang menggunakan kata ‘massa’ untuk makna ‘bersetubuh’ bukan arti menyentuh secara bahasa.

Juga di dalam beberapa hadits menunjukkan bahwa kata ‘massa’ memiliki arti ‘bersetubuh’. Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila kemaluan menyentuh kemaluan (bersetubuh), maka wajiblah mandi.” [HR. Muslim].

5. Walaupun kata ‘massa’ dapat diartikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ tetapi dalam hadits-hadits yang digunakan oleh golongan yang mengharamkan jabat tangan dengan wanita bukan mahram, ini lebih tepat jika diertikan dengan ‘bersetubuh’. Sebab jika di artikan dengan ‘menyentuh dengan tangan’ maka pengertian ini bertentangan dengan hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah r.a. dimana tangan Rasulullah Saw yang mulia telah menyentuh (berjabat tangan) dengan wanita yang bukan mahram. Juga riwayat lain yang menjelaskan dimana Rasulullah Saw pernah memegang tangan wanita seperti diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a. yang berkata:

“Seorang wanita mengisyaratkan sebuah buku dari belakang tabir dengan tangannya kepada Nabi Saw. Beliau lalu memegang tangan itu seraya berkata, ‘Aku tidak tahu ini tangan seorang lelaki atau tangan seorang wanita.’ Dari belakang tabir wanita itu menjawab. ‘Ini tangan seorang wanita’. Nabi bersabda, ‘Kalau engkau seorang wanita, mestinya kau robah warna kukumu (dengan inai).” [HR. Abu Daud].

Selain itu Rasulullah Saw pernah berjabat tangan di dalam air, dalam benjana pada saat membai’at wanita, pernah juga Rasulullah Saw berjabat tangan dengan alas kain. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah Saw pernah menyuruh Umar bin Khaththab r.a untuk mewakili beliau dalam bai’at dan bai’at ini dilakukan dengan berjabat tangan. Kalau memang berjabat tangan (menyentuh) dengan wanita diharamkan, tentunya Rasulullah Saw tidak akan melaksanakannya baik secara langsung maupun dengan perantara apapun. Juga tidak mungkin Rasulullah Saw memerintahkan Umar bin Khaththab r.a. melakukan jabat tangan (menyentuh) dengan wanita yang bukan mahram, sebab hal tersebut adalah perbuatan yang haram. Akan tetapi ternyata yang terjadi justru sebaliknya.

Juga kalau memang berjabat tangan (bersentuhan) antara lawan jenis yang bukan mahram itu diharamkan, tentunya Daulah Khilafah (negara Khilafah) tidak akan membiarkan kondisi-kondisi atau keadaan yang sangat memungkinkan terjadi persentuhan. Bahkan Daulah akan memberikan sanksi/hukuman bagi yang melakukannya. Ternyata tidak ada satu riwayatpun yang menyatakan bahwa Daulah pernah melakukannya. Dan bahkan Daulah tidak pernah memisahkan antara jama’ah haji lelaki dan wanita, juga antara lelaki dan wanita di pasar walaupun kondisi tersebut akan menyebabkan terjadinya bersentuhannya lelaki dan wanita yang bukan mahram.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dimaksud dengan kata ‘menyentuh’ pada hadits-hadits yang digunakan oleh pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan wanita bukan mahram adalah ‘bersetubuh’ bukan menyentuh secara bahasa (berjabat tangan).

6. Pendapat yang mengharamkan berjabat tangan antara lelaki dan wanita bukan mahram juga di dasarkan pada sabda Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” [HR. Malik, Tirmidzi dan Nasa’i].

Hadits di atas serta hadits-hadits lain yang serupa sering dijadikan dalil untuk mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram.

Pendapat ini adalah lemah, sebab perkataan Rasulullah Saw, “Sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan wanita.” tidak menunjukkan larangan berjabat tangan, tetapi hanyalah mencegah dari perbuatan mubah. Hukum mubah ini di dasarkan pada hadits shahih yang diriwayatkan Ummu ‘Athiyah. Kerana hukumnya mubah, maka terserah saja bagi Rasulullah Saw dan bagi kaum muslimin lainnya apakah berjabat tangan (Lihat riwayat Ummu ‘Athiyah dan Ath-Thabrai dari ‘Aisyah r.a.) atau meninggalkan berjabat tangan (seperti hadits riwayat Malik, Tirmidzi dan Nasa’i).
Khatimah

Dari tarjih kedua pendapat diatas menunjukkan bahwa pendapat yang mengharamkan berjabat tangan dengan bukan mahram adalah lemah jika dibandingkan dengan pendapat yang membolehkannya. Kerana hukumnya mubah maka dibolehkan bagi kaum muslimin untuk berjabat tangan dengan bukan mahram baik secara langsung ataupun dengan pembatas, juga dibolehkan untuk tidak berjabat tangan.

Pendapat yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mensyaratkan harus tanpa syahwat. Kalau ada syahwat maka hukumnya haram. Kerana itu para ulama yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram mengingatkan kerana antara syahwat dan tidak itu sangat samar, maka haruslah kita berhati-hati pada saat berjabat tangan. Terutama sekali kalau yang berjabat tangan adalah lelaki dan wanita muda yang sebaya, sebab sangat mungkin menimbulkan syahwat atau menimbulkan fitnah. Kalau tidak khawatir timbul fitnah maka tidak apa-apa berjabat tangan dengan bukan mahram. Misalnya dengan orang-orang yang sudah tua atau dengan anak-anak kecil.

Golongan yang membolehkan berjabat tangan dengan bukan mahram, bukanlah kerana mereka senang berjabat tangan dengan bukan mahram. Tetapi kerana mereka tidak berani untuk mengharamkan sesuatu yang secara jelas Allah SWT telah membolehkannya lewat perbuatan RasulNya. Sebab termasuk dosa besar kalau ada orang yang berani mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah SWT atau menghalalkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sebab Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya orang yang mengharamkan sesuatu yang halal sama dengan orang yang menghalalkan sesuatu yang haram.” [HR. As-Sihab].

Perlu diingat bahwa sesuatu yang mubah tidak harus selalu dilakukan. Sebab kalau itu tidak berguna dan dapat menimbulkan fitnah lebih baik dihindarkan.

Bagi mereka yang mengikuti pendapat yang mengharamkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka haramlah hukumnya bagi mereka untuk berjabat tangan dan atau menyentuh dengan tangannya siapapun yang bukan mahramnya, baik bukan mahramnya tersebut anak kecil, remaja, dewasa ataupun orang yang sudah tua sekalipun. Sebab mereka semua adalah bukan mahram, yang haram untuk berjabat tangan dan bersentuhan dengannya. Sedangkan bagi mereka yang mengikuti pendapat yang membolehkan setelah sampai penjelasan yang meyakinkan, maka mubahlah hukumnya bagi mereka. Allah SWT akan meminta pertanggung-jawaban atas perbuatannya berdasarkan pendapat yang terkuat yang telah ia ikuti. Walaupun berbeza pendapat kaum muslimin tetap bersaudara. Tidak boleh hanya kerana perbezaan pendapat yang masih dibolehkan tersebut, sesama muslim saling menfitnah dan memburuk-burukkan orang yang berbeza dengan mereka. Yang jelas kita wajib mengikuti pendapat yang terkuat tanpa dicampuri adanya perasaan suka atau tidak suka.

Wallahu a’lam.

Sumber : Konsultasi Islam


Jawapan Balasan :


Abu Adam Divo Alfadani said

16/07/2009 at 2:18 am

Assalamualaykum WarohmatULLOH,

Akhi yang dirahmati ALLOH, semoga Hidayah dan Rahmat senantiasa dilimpahkan kepada kita berdua dan umat Nabi Muhammad SalALLAHU alaihi wassallam.

ana mau tanya ttg hadits Ummu ‘Athiyah r.a. siapakah yang meriwayatkan hadits tersebut, dan bagaimana derajatnya??

lalu pendapat ulama siapa yang menyatakan bersalaman itu mubah dengan wanita yang bukan mahromnya??

bagaimana dengan perkataan imam Ahmad bin Hambal kepada istrinya, “sesungguhnya engkau adalah istri yang baik, tapi aku cemburu ketika tamuku mendengar suara sendalmu dari dalam kamar”?

Ketika imam Hasan Al Basri ditanya istrinya ketika pulang dari ceramah di Idul Adha,”Berapa banyak wanita yang engkau lihat??dan Imam pun menjawab Demi ALLOH semenjak dari rumah , sampai kembali kerumah ini yang aku lihat hanyalah kedua jempol kaki ku ini.”

dan banyak lagi atsar2 ulama terdahulu yang jika anta baca,melihat saja mereka takut apalagi menyentuh, insya ALLOH akan fahamlah kita akan hukum bersentuhan dengan wanita.

Memang kata bersentuhan didalam Fiqh dapat bermakna dua, ada yang mengartikan menyentuh biasa ada yang mengartikan berzina.

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit [403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh [404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(Al-Maidah:6)

[404] Artinya: menyentuh. Menurut jumhur ialah: “menyentuh” sedang sebagian mufassirin ialah: “menyetubuhi”.karena ada riwayat dari sahabat yang menyatakan menyentuh disini adalah bersetubuh.

Seandainya massa yang dimaksudkan adalah berzina, mengapa Rosul SalALLAHU alaihi wassallam tidak mengatakan berzina saja tapi menyentuh?karena jelas Berzina itu adalah dosa besar.

berikut ana sampaikan artikel dari ulama terkini, semoga bermandaat.

Larangan Berjabat Tangan dengan Wanita yang Bukan Mahram

Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali
Friday, 06 February 2009
Diriwayatkan dari Ma’qil bin Yasar r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Lebih baik kepala seseorang ditusuk dengan jarum besi daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya,” (Hasan, HR ath-Thabrani dalam al-Kabir (174).

Diriwayatkan dari Umaimah binti Ruqaiqah r.a, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya aku tidak akan menjabat tangan wanita. Sesungguhnya ucapanku untuk seratus wanita sama seperti ucapanku untuk satu orang wanita (yakni dalam membaiat mereka),” (Shahih, HR Malik [II/982], at-Tirmidzi [1597], Ibnu Majah [2874] dan Ibnu Hibban [4553]).

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru r.a, bahwasanya Rasulullah saw. tidak pernah menjabat tangan wanita ketika mengambil baiat wanita (dari para wanita),” (Shahih lighairihi, HR Ahmad [II/213]) dan al-Humaidi [368]).

Diriwayatkan dari Aisyah r.a, ia berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah saw. tidak pernah menyentuh tangan wanita ketika membaiat. Beliau membaiat mereka hanya dengan ucapan, “Aku telah membaiatmu untuk ini dan ini,” (HR Bukhari [4891]).

Kandungan Bab:

Haram hukumnya menyentuh wanita yang tidak halal bagi seorang laki-laki. Tidak diragukan lagi ancaman yang berat tersebut menunjukkan pengharamannya.
Haram hukumnya berjabat tangan dengan wanita (yang bukan mahram) karena termasuk menyentuh. Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Rasulullah saw. tidak pernah menjabat tangan wanita dalam membaiat apalagi ketika bertemu.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw. menjabat tangan wanita dengan alas tangan. Namun riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat mursal yang tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi riwayat tersebut bertentangan dengan hadits yang shahih dan jelas dari perkataan dan perbuatan Rasulullah.
Jumhur kaum muslimin telah jatuh dalam kemungkinan ini, khususnya setelah mereka melihat sebagian orang yang memakai sorban melakukan hal tersebut. Dan muncul pula sebagian kelompok yang mengajak kepadanya dan mewajibkan kepada pengikutnya untuk melakukannya.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar’iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi’i, 2006), hlm. 3/58-59.

No comments: